x
x

Kekalahan Pasca Idul Fitri Cermin Ritualitas Moralitas

Minggu, 06 Apr 2025 14:12 WIB

Reporter : Redaksi

"Selamat merayakan kemenangan," begitu ucapan otomatis dari bibir ke bibir setiap kali Idul Fitri tiba. Tapi kemenangan macam apa yang dimaksud? Kemenangan menahan lapar selama belasan jam atau kemenangan menggeser jadwal makan sahur dan berbuka semata? Jika benar ada kemenangan, mengapa euforia pasca Ramadhan justru dipenuhi dengan ironi, kebobrokan moral dan keliaran sosial?

Pasar garmen dan kuliner memang bergemuruh menjelang lebaran, namun di balik gegap gempita itu masyarakat Indonesia disuguhi tontonan yang tidak layak. Premanisme berkedok ormas, parkir liar dengan tarif seenaknya, pertengkaran massal di jalan dan masjid hingga arogansi keagamaan yang justru menodai nilai-nilai luhur Islam itu sendiri.

Maka jangan salahkan publik jika mempertanyakan benarkah negeri ini religius ataukah hanya religius dalam statistik? Kekalahan pasca Idul Fitri mencerminkan ritualitas tanpa moralitas.

GAGAL BERAKHLAK

Catatan Pew Research Center, Indonesia menduduki peringkat kedua dunia dalam jumlah pemeluk Islam setelah Pakistan. Ironisnya, negeri yang seharusnya memancarkan teladan keislaman justru menjadi ladang subur bagi aksi tipu-tipu, pemalakan dan kekerasan. Bukankah Islam datang untuk menyempurnakan akhlak? Lalu di mana letak kesempurnaannya ketika shaf salat Id malah jadi ajang perkelahian?

Perayaan Idul Fitri kini hanya jadi puncak dari rutinitas keagamaan yang hampa makna. Layaknya topeng yang dikenakan semalam, keimanan yang dibanggakan selama Ramadhan segera tersingkap begitu adzan Maghrib 1 Syawal berkumandang. Di Bangkalan, orang mengayun celurit di malam takbiran, bukan untuk menyembelih ego tapi memburu dendam.

Di area parkir Monas Jakarta Hasan sekeluarga jadi korban premanisme parkir. Mobilnya didenda Rp 30 ribu secara sepihak, bannya mendadak kempes saat ia hanya pergi 10 menit. Di banyak pertokoan yang parkirnya gratis tapi juru parkir liar terus beraksi.  Siapa yang berani melawan? Polisi? Mereka lebih sibuk berswafoto ketimbang bersikap tegas.

APARAT MANDUL

Aparat keamanan seharusnya menjadi "payung" bagi rakyat. Namun realitanya payung itu sering bolong di tengah hujan masalah. Mereka ambigu bahkan cenderung acuh terhadap berbagai tindakan liar yang merusak ketertiban publik.

Sementara itu para dai dan mubaligh sibuk mengulang-ulang teks lama tanpa perenungan baru. Mimbar dakwah lebih banyak menjual surga ketimbang menyentuh neraka sosial. Umat dicekoki dogma bukan dituntun untuk berpikir. Hasilnya? Ritual dijalankan tapi moral tetap terbenam. Demikian bentuk kegagalan dakwah yang hanya bersifat entertainmen.

Betapa banyak penceramah yang mahir menghafal hadis tapi abai terhadap penderitaan sosial di sekelilingnya. Betapa banyak ormas yang mengaku membela agama tapi menjadi sumber keresahan publik. Islam seolah hanya berhenti di tenggorokan, tidak pernah sampai ke hati.

Ini bukan tuduhan semata tapi jeritan keprihatinan dari para cendekiawan Muslim sendiri. Lihat Seyyed Hossein Nasr (Iran) hingga Fazlur Rahman (Pakistan) telah lama menyuarakan kritik keras terhadap formalisme keagamaan yang kering dari ruh spiritual.

Fenomena ini tidak berdiri sendiri. Laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat peningkatan aktivitas transaksi mencurigakan menjelang dan pasca lebaran. Penipuan online melonjak, pemalakan berseragam marak dan intimidasi kepada umat agama lain terus terjadi. Bukankah Idul Fitri seharusnya menjadi perayaan kasih sayang, bukan kebencian!?

Jika dibiarkan bara kecil ini bisa menjelma menjadi api besar. Lihatlah demo mahasiswa yang terus-menerus digerakkan oleh para petualang politik. Anak-anak muda dijadikan pion, tumbal permainan kekuasaan sementara para provokator bertopeng aktivis, akademisi tertawa dari balik layar. Rumah keindonesiaan bisa runtuh bukan karena badai dari luar melainkan karena rayap-rayap dari dalam yang merusak fondasi nilai yang dibangun dengan air mata, darah dan nyawa pejuang dalam kurun teramat panjang.

RITUAL SOSIAL DANGKAL

Saatnya kita menatap cermin dan bertanya, apakah kita benar-benar menang? Ataukah kita justru kalah telak dalam pertarungan melawan hawa nafsu, ego, dan kebodohan struktural? Ritual Ramadhan yang seharusnya jadi kawah candradimuka pembentukan karakter malah hanya jadi rutinitas sosial yang dangkal.

Jika aparat terus diam, jika para penyiar agama terus berkhotbah tanpa aksi, jika masyarakat terus tenggelam dalam kepalsuan seremonial, jangan salahkan siapa-siapa jika bangsa ini ambruk dari dalam.

Kepada para aparat, ada satu pertanyaan, "Apakah kalian akan tetap diam hingga bencana sosial itu benar-benar datang ataukah kalian akan berdiri sebelum api membakar segalanya, termasuk kalian sendiri?".

Camkan itu!!

Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.

Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

 

 

Editor : Redaksi

LAINNYA