x
x

Kisah Hutan Yang Tumbang Oleh Uang

Jumat, 28 Mar 2025 14:45 WIB

Reporter : Redaksi

Di tanah yang dahulu hijau subur, hutan kini bukan lagi sekadar ekosistem yang menjulang dengan nyanyian burung dan desir angin. Ketika keadilan ditakar dengan kapital maka hutan berubah menjadi komoditas, lembaran angka dalam laporan korporasi, dan objek rebutan bagi mereka yang memiliki kuasa dan modal.

Kejaksaan Agung melalui Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH), baru-baru ini mengumumkan pencapaian besar, yakni menyita 1 juta hektar lahan hutan dari tangan perusahaan-perusahaan sawit raksasa. Namun di balik gaung keberhasilan itu  ada satu pertanyaan mendasar yang menggelayut di benak rakyat, ke mana tanah ini akan bermuara?

Konon, lahan yang disita ini akan dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PT Agrinas Palma Nusantara (Persero). Sebuah langkah yang, di atas kertas tampak sebagai upaya memulihkan kedaulatan negara atas sumber daya alam. Namun sejarah panjang pengelolaan lahan di Indonesia mengajarkan kita untuk tidak menelan mentah-mentah narasi keadilan yang dibangun di atas landasan kekuasaan.

Apakah penyerahan lahan ini akan benar-benar menyejahterakan rakyat? Ataukah hanya sebuah perpindahan kepemilikan dari satu lingkaran elite ke lingkaran elite lainnya?

Fakta bahwa perusahaan-perusahaan sawit bisa menguasai hingga ratusan ribu hektar lahan dalam satu genggaman saja sudah cukup membuktikan bahwa regulasi dan perizinan lebih berpihak pada pemodal ketimbang masyarakat kecil.

Regulasi Bagi Raksasa

Perusahaan-perusahaan ini tidak serta-merta mengangkangi hutan begitu saja. Mereka memiliki tiket emas yang diberikan melalui skema Hak Guna Usaha (HGU), yang bisa mencapai 25 sampai 35 tahun dan bisa diperpanjang dengan mudah. Izin Usaha Perkebunan (IUP) juga memungkinkan mereka memperoleh lahan dalam skala besar dengan dalih investasi dan pembangunan ekonomi. Celah regulasi yang terus berubah membuat mereka bisa menyesuaikan strategi, menambah kepemilikan dan memperpanjang napas eksploitasi.

Di sisi lain pengawasan yang lemah membuka peluang lebar bagi manipulasi dokumen perizinan, perampasan lahan masyarakat adat, hingga tumpang tindih klaim kepemilikan. Banyak kasus sengketa tanah yang berakhir dengan rakyat kecil sebagai korban sementara perusahaan terus beroperasi dengan restu pemerintah.

Penertiban kawasan hutan, sebagaimana yang digembor-gemborkan dalam Perpres No. 5 Tahun 2025 seharusnya tidak hanya menjadi ajang reposisi kepemilikan  melainkan juga momentum untuk redistribusi tanah yang adil. Namun, hingga saat ini suara masyarakat adat dan petani kecil masih terdengar sayup.

Sebagian besar masyarakat yang menggantungkan hidup pada tanah justru tidak pernah mendapat akses terhadap lahan dalam skala layak. Sementara itu perusahaan-perusahaan raksasa dengan mudah mendapatkan ratusan ribu hektar melalui skema perizinan yang dirancang demi kepentingan modal. Inikah keadilan yang kita dambakan?

Beralih Tangan

Hutan yang seharusnya menjadi penyangga kehidupan kini hanya dipandang sebagai aset yang bisa diperjualbelikan. Penyerahan lahan dari tangan korporasi ke BUMN sejatinya hanyalah sebuah pergantian kepemilikan yang tak menjamin perubahan fundamental. Jika lahan yang disita hanya berputar di antara elite ekonomi dan politik, rakyat kecil tetap menjadi penonton di tepi lapangan, menyaksikan permainan yang tak pernah melibatkan mereka.

Apakah Satgas PKH berani mengambil langkah lebih radikal, dengan mengembalikan tanah ini kepada masyarakat adat dan petani yang telah lama kehilangan hak atas ruang hidup mereka? Ataukah ini hanya sekadar pengalihan aset yang tetap berujung pada dominasi oligarki?

Keadilan sejati bukanlah sekadar pergantian aktor dalam penguasaan lahan. Ia hanya bisa terwujud jika tanah kembali menjadi hak mereka yang menggantungkan hidup padanya, bukan sekadar barang dagangan dalam lelang kepentingan. Jika keadilan terus diukur dengan uang maka yang tumbang bukan hanya hutan tetapi juga nurani bangsa.

Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.

Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

 

 

Editor : Redaksi

LAINNYA