x
x

"Bayar, Bayar, Bayar". Kritik Yang Dibelenggu Polisi

Selasa, 25 Feb 2025 15:49 WIB

Reporter : Redaksi

Dalam jagat musik, kritik sosial menemukan ruang paling murni. Nada dan lirik menjadi manifestasi kegelisahan suara yang mewakili mereka yang tak bersuara. Namun dalam realita keseharian yang terus berulang suara-suara ini kerap dibungkam dipelintir menjadi sesuatu yang berbahaya. Kebenaran seakan  momok yang harus dijinakkan.

Kasus yang menimpa grup band Sukatani adalah cermin telanjang dari kontradiksi yang mengakar dalam sistem kita. Kelompok musik asal Purbalingga ini mengusung genre  street punk dikawal  Muhammad Syifa Al Ufti alias Electroguy (gitaris) dan Novi Chitra Indriyaki alias Twistter Angels (vokalis).

Bermula dari keresahan terhadap praktik-praktik yang dianggap koruptif di tubuh kepolisian, Sukatani  menciptakan lagu "Bayar, Bayar, Bayar". Sebuah karya yang dengan terang-terangan menyoroti betapa segala sesuatu punya harga yang harus ditebus, termasuk keadilan. Alih-alih diperlakukan sebagai bentuk ekspresi yang sah, lagu tersebut justru berujung pada pemaksaan klarifikasi, permintaan maaf juga pencabutan dari semua platform.

Pertanyaannya, sejak kapan kritik dianggap sebagai ancaman? Sejak kapan suara rakyat yang mempertanyakan sistem harus dipaksa bungkam?

WAJAH GANDA POLISI

Sudah menjadi rahasia umum bahwa kepolisian sebagai penegak hukum  kerap menjadi sorotan tajam. Spanduk-spanduk bertuliskan "No Korupsi" menghiasi kantor-kantor mereka namun realita di lapangan menunjukkan kisah yang berbeda. Tak sedikit orang yang harus merogoh kocek demi kelancaran urusan administratif.  Mulai dari pengurusan SIM hingga perkara pidana yang seharusnya berjalan sesuai prosedur hukum.

Jika saja ada yang melakukan survei  pada siapapun yang pernah mengurus suatu kepentingan kemudian harus berurusan dengan polisi, apakah mereka mengeluarkan uang? Bisa dipastikan hampir 90 persen responden akan menjawab: iya.

Tanyakan pada orang-orang yang sedang bernasib sial tertangkap karena judi online atau narkoba, apakah mereka dimintai uang sebelum di BAP? Bisa dipastikan 100 persen jawabannya: iya.

Bahkan di kalangan masyarakat sudah menjadi semacam pepatah jalanan, "Jika ingin selamat, hindari empat tempat: pengadilan, polisi, rumah sakit, dan wartawan bodrek."
Pepatah ini lahir bukan dari kekosongan melainkan dari pengalaman kolektif rakyat kecil yang kerap menjadi korban dari sistem yang lebih berpihak pada kuasa dan kapital.

Di tengah lanskap korupsi seperti ini  hadir Sukatani dengan lagunya, membawa pesan yang terlalu jujur untuk ditoleran. Lagu mereka mengupas borok yang sudah lama menjadi rahasia umum tetapi ketika kenyataan dituangkan dalam kesenian, ia menjadi sesuatu yang menakutkan bagi mereka yang merasa terusik.

KEKUATAN MUSIK

Di sepanjang sejarah, musik telah menjadi medium perlawanan. Dari Bob Dylan yang melawan perang Vietnam, Iwan Fals yang menyuarakan kegelisahan rakyat, hingga Efek Rumah Kaca yang menyindir penguasa—musik selalu menjadi bagian dari gerakan sosial. Namun, di negeri ini, ekspresi yang jujur sering kali dihadapkan pada tembok kekuasaan.

Kasus Sukatani menjadi bukti nyata bahwa ada batas yang tak boleh dilanggar oleh rakyat kecil. Kritik memang diperbolehkan tetapi hanya dalam batas yang ditentukan. Jika terlalu tajam, terlalu nyata, maka hukumnya jelas, harus dipelintir, harus dimatikan. Seperti yang terjadi pada "Bayar, Bayar, Bayar" yang akhirnya ditarik setelah para personelnya muncul dalam video permintaan maaf dengan wajah terbuka, penuh tekanan.

Tindakan ini jelas bukan sekadar klarifikasi. Ini adalah cara sistem menanamkan rasa takut. Sebuah pesan tersirat bahwa siapa pun yang berani menyuarakan ketidakadilan akan berhadapan dengan konsekuensi yang berat.

Kisah Sukatani mengingatkan pada repertoar kesenian rakyat dimana tokoh antagonis kolonial Belanda di akhir cerita selalu kalah dan mati.

Dari sejarah diajarkan bahwa membungkam suara tidak berarti mematikan tetap justru sebaliknya, tekanan yang diberikan kepada Sukatani bahkan memperbesar gema suara mereka. Kritik yang ditekan akan menemukan jalannya sendiri, menjelma menjadi api yang terus menyala di benak mereka yang masih percaya bahwa keadilan bukanlah sekadar ilusi.

Sukatani mungkin telah menarik lagunya namun mereka tidak berhenti bermusik. Setelah badai mereda, mereka kembali ke panggung, membuktikan bahwa kreativitas dan keberanian tidak bisa begitu saja dikandangkan. Ini membuktikan bahwa seni selalu menemukan cara untuk bertahan  bahkan di tengah represi.

Pada akhirnya, Bayar, Bayar, Bayar bukan sekadar lagu melainkan sebuah potret yang menyayat tentang negeri yang masih takut pada kritik. Sukatani telah membayar mahal untuk keberanian mereka. Tetapi mereka tidak sendiri.

Sebab di setiap nada yang mereka mainkan ada suara rakyat yang tak bisa dibungkam. Di setiap lirik yang mereka tulis ada harapan bahwa suatu hari nanti, kita tidak lagi perlu "membayar" untuk mendapatkan keadilan.

Tapi, kapan?

Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.

Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

Editor : Redaksi

LAINNYA