Dalam sehari-hari kadang kita menjumpai orang yang merasa dirinya dizalimi sementara pihak yang dituduh justru bingung karena merasa tak pernah melakukan kesalahan. Fenomena ini tidak hanya mewarnai dalam hubungan pribadi atau rumah tangga namun juga merambah ranah sosial dan politik. Ada yang gemar membangun narasi bahwa dirinya dikhianati atau menjadi korban konspirasi meski realitasnya tidak demikian. Mereka hidup dalam bayang-bayang ketidakpercayaan seolah dunia ini adalah panggung penderitaan yang diciptakan khusus untuk menindas dirinya.
Di balik pola pikir seperti ini tersembunyi mentalitas korban, sebuah kecenderungan untuk selalu melihat diri sendiri sebagai pihak yang tersakiti. Dalam psikologi hal ini bisa terkait dengan beberapa gangguan kepribadian seperti paranoid, histrionik hingga narsistik dalam bentuk yang paling rapuh. Mereka bukan hanya mencurigai orang lain secara berlebihan tetapi juga mencari perhatian dengan membesar-besarkan penderitaan yang mungkin hanya ada dalam benaknya sendiri.
Mengapa ada orang yang berpikir seperti itu? Ada banyak faktor yang membentuk pola pikir tersebut, mulai dari pengalaman traumatis, pola asuh yang keliru hingga kecenderungan untuk menghindari tanggung jawab dengan berlindung di balik narasi penderitaan.
Mereka yang pernah dikhianati mungkin membawa luka itu sepanjang hidup, menjadi cara pandang dalam melihat dunia. Ada pula yang sejak kecil dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kecurigaan sehingga mereka tumbuh penuh praduga bahwa hidup ini penuh tipu daya.
Tidak jarang mentalitas ini menjadi alat manipulasi. Dengan mengklaim diri sebagai korban, seseorang bisa memperoleh simpati dan menghindari kritik. Mereka menuntut perhatian, meminta perlakuan khusus, bahkan membenarkan tindakan mereka yang sebenarnya merugikan orang lain.
JANGAN TERJEBAK
Menghadapi orang dengan mentalitas seperti ini memerlukan kesabaran sekaligus ketegasan. Jika kita terlalu melibatkan emosi maka akan bisa bisa terseret dalam drama ciptaannya. Untuk itu perlu bersikap tenang dan jangan terpancing untuk membuktikan sesuatu yang bagi mereka sudah mutlak, bahwa mereka adalah korban. Menyodorkan fakta pun tak akan berguna karena realitas bagi mereka telah berubah akibat emosi dan prasangka.
Yang terbaik adalah membuat batasan. Jangan biarkan diri kita terjebak dalam permainan perasaan yang melelahkan. Jika seseorang terus-menerus menyebarkan narasi negatif dan mengganggu kedamaian kita, menjaga jarak bisa menjadi pilihan yang sehat. Kita tak bisa mengubah pola pikir seseorang jika mereka sendiri tidak mau keluar dari belenggu ilusi yang diciptakan.
Orang dengan mentalitas korban kerap menggunakan perasaan bersalah atau simpati orang lain untuk mendapatkan perhatian. Jika kita terlalu lunak akan terjebak dalam pola yang terus-menerus mengeluhkan nasib tanpa berusaha mencari solusi.
Dunia ini memang tidak selalu adil tetapi bukan berarti kita harus melihatnya dari sudut pandang korban. Hidup bukan tentang siapa yang paling tersakiti tetapi tentang bagaimana kita bertahan, tumbuh dan melampaui luka.
Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi