Bila ada negara adidaya mengubah haluan politik luar negerinya, tak ayal langsung mengguncang banyak negara. Demikian halnya dengan keputusan Presiden Donald Trump yang menutup United States Agency for International Development (USAID), lembaga yang selama enam dekade memainkan peran penting dalam menyalurkan bantuan luar negeri AS.
Dampak langsung dari penutupan USAID adalah pemulangan lebih dari 10.000 karyawan, sekitar dua pertiganya bertugas di luar negeri. Badan ini mengelola lebih dari 60 misi negara dan regional. Semua staf diperintahkan kembali ke AS pada Jumat, 7 Februari 2025. Bagi pegawai yang tidak menduduki posisi penting seperti tenaga kontrak akan diberhentikan.
Kebijakan ini juga berarti penghentian ratusan program yang selama ini didanai USAID. Mulai dari pengentasan kemiskinan, pembangunan ekonomi hingga bantuan medis bagi penderita HIV/AIDS di negara-negara berkembang.
Dunia terus berubah bersama arus sejarah dan peta politik global yang bergerak dinamis. Kebijakan luar negeri sebuah negara, terutama negara adidaya seperti Amerika Serikat tidak selalu statis. Keputusan yang diambil pemimpin hari ini dapat mengubah arah hubungan internasional esok hari.
Keputusan Donald Trump atas USAID bukan hanya soal efisiensi anggaran atau perubahan strategi kebijakan luar negeri AS. Ini adalah bagian dari gelombang baru geopolitik dunia dimana negara-negara mulai lebih fokus pada kepentingan domestik sendiri. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh AS tetapi juga oleh ratusan negara yang selama ini bergantung pada bantuan USAID, termasuk Indonesia.
BANTU 100 NEGARA
USAID didirikan oleh Presiden John F. Kennedy pada tahun 1961 sebagai respons terhadap Perang Dingin. Lembaga ini bertugas mengoordinasikan bantuan luar negeri AS. Tujuan awal untuk menandingi pengaruh Uni Soviet di negara-negara berkembang. Selama enam puluh tahun lebih, USAID telah menyalurkan miliaran dolar untuk pembangunan pada 100 negara. Membantu bidang kesehatan, infrastruktur, pendidikan dan tanggap bencana.
Pada tahun 2023 USAID mengelola dana sebesar USD 40 miliar atau sekitar Rp 640 triliun. Negara penerima terbesar meliputi Ukraina, Ethiopia, Yordania serta negara-negara yang mengalami konflik dan krisis kemanusiaan. Bagi banyak LSM dan komunitas internasional, USAID bukan sekadar sumber dana tetapi juga simbol komitmen AS terhadap pembangunan global.
TANTANGAN BARU
Keputusan ini bisa mengubah peta pengaruh geopolitik. Dengan mundurnya USAID, negara lain seperti Tiongkok dan Rusia berpotensi mengisi kekosongan tersebut. Selama ini, AS menggunakan bantuan luar negeri sebagai alat diplomasi lunak untuk memperkuat pengaruhnya di berbagai wilayah. Tanpa USAID negara-negara berkembang mungkin akan lebih terbuka terhadap alternatif lain termasuk Belt and Road Initiative (BRI) dari Tiongkok.
Bagi Indonesia, ini adalah ujian sekaligus peluang. Ujian, karena banyak program yang selama ini bergantung pada dana USAID kini harus mencari jalan baru. Peluang, karena ini bisa menjadi momentum untuk membangun kemandirian, memperkuat kolaborasi domestik serta merancang strategi baru dalam menghadapi perubahan global.
Dunia terus bergerak, siapa yang tidak siap berubah akan tertinggal. Kini saatnya Indonesia menentukan arah sendiri, bukan hanya sebagai penerima bantuan tetapi sebagai negara yang mampu berdiri di atas kaki sendiri di panggung geopolitik global.
Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi