Jika tidak banyak yang aneh bukan dunia namanya. Ditafsirkan kepala ibaratkan dunia sedangkan dada simbol langit. Pikiran di kepala terus bergerak bagai roda yang berputar tanpa henti. Dalam pusaran seperti itu, satu hal yang pasti, menjadi manusia yang baik jauh lebih bermakna daripada sekadar beragama tanpa moral. Jika agama tidak membuat seseorang lebih jujur, lebih peduli, dan lebih rendah hati, lalu apa gunanya agama?
Agama diklaim sebagai cahaya moral yang menuntun manusia menuju kebajikan. Namun betapa sering kita mendapati paradoks? Mereka yang paling keras menyuarakan kesalehan justru berperilaku paling angkuh.
Lihatlah di sekitar kita ada orang yang jidatnya menghitam akibat sering bersujud tetapi hatinya sekeras batu. Ada yang setiap minggu setia ke tempat ibadah tetapi dengan mudahnya mencibir tetangga yang tidak ikut ritual serupa. Mereka merasa lebih tinggi, lebih suci, seakan tiket surga sudah di genggaman.
Ada pula yang rela menghabiskan puluhan bahkan ratusan juta rupiah untuk wisata spiritual ke negeri asal agamanya. Bukan sekadar perjalanan batin melainkan investasi untuk predikat "haji" atau "pendeta besar" seolah gelar itu menjamin ketakwaan. Namun, setelah kembali apakah perilaku mereka berubah? Tidak jarang justru semakin sombong, merasa lebih istimewa dibanding mereka yang tak mampu membayar perjalanan religius semahal itu.
Di sinilah letak ironi terbesar; banyak yang mengaku beragama tetapi tidak bertuhan. Mengapa? Karena Tuhan sejatinya mengajarkan kasih sayang, keadilan, dan kerendahan hati. Nilai-nilai yang justru mereka abaikan.
SUMBER KONFLIK
Sejak manusia menciptakan konsep agama sekitar 70.000 tahun silam, tak satu pun ajarannya menganjurkan kejahatan. Akan tetapi ketika dogma mulai dikultuskan, pemeluknya berubah menjadi fanatik. Agama yang semestinya menjadi jembatan perdamaian justru sering kali menjadi sumber konflik.
Sungguh ironis, mereka yang diajarkan untuk toleran justru merendahkan pemeluk agama lain. Yang seharusnya menghargai keberagaman malah memilih eksklusivitas. Bukankah ini bentuk pengingkaran terhadap esensi agama itu sendiri?
Maka tak mengherankan apabila fenomena murtad kian marak. Orang mulai meninggalkan agamanya bukan karena ajarannya buruk melainkan karena perilaku pemeluknya yang jauh dari nilai-nilai moral. Mereka kecewa melihat kesenjangan antara doktrin dan kenyataan.
MORALITAS
Di sisi lain, ada yang tidak terlalu mempersoalkan agama tetapi perilakunya penuh kebajikan. Mereka santun, ringan tangan dalam membantu, tidak kikir, dan tidak merasa lebih baik dari yang lain. Mereka tidak banyak berdoa namun kehadirannya merupakan berkah bagi sekitarnya.
Bukankah mereka justru lebih religius dibanding mereka yang rajin beribadah tetapi gemar menghina, menipu, dan menghakimi?
Mungkin inilah pesan sejati dari spiritualitas, bukan sekadar mengucap doa atau melaksanakan ritual tetapi menghadirkan manfaat bagi sesama. Sebab Tuhan tidak membutuhkan pujian. Tuhan tidak butuh dibela. Tuhan tidak butuh disembah. Manusialah yang saling membutuhkan kebaikan.
KEJAHATAN DIGITAL
Di era digital kebohongan yang dikemas dengan narasi religius semakin banyak dikonsumsi secara mentah-mentah. Demi mempopulerkan agamanya, ada yang sengaja menyebar hoaks. Mereka percaya bahwa memanipulasi kebenaran adalah bentuk perjuangan iman, padahal itu hanyalah logika bejat yang menistakan agama itu sendiri.
Ambil contoh berita viral tentang masjid yang konon tetap utuh di tengah kebakaran Los Angeles. Begitu gambar itu tersebar, komentar takbir menggema tanpa ada yang berpikir kritis. Ternyata, itu hanyalah rekayasa grafis yang dibuat oleh orang tidak bertanggung jawab, dan ironisnya, disambut oleh mereka yang merasa sebagai pejuang agama.
Kebohongan demi kebohongan dikemas dengan label keimanan. Seolah-olah Tuhan membutuhkan tipu daya manusia untuk membela-Nya. Jika Tuhan memang Maha Segalanya mengapa harus dibela dengan kepalsuan
Pada akhirnya, tidak ada yang lebih religius daripada kebaikan hati. Sebab Tuhan tidak selalu hadir dalam ritual, tetapi selalu bersama tindakan yang penuh kasih sayang.
Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi