Di atas panggung Laila Sari bukan sekadar bintang melainkan sebuah sinar yang terus menyala bahkan saat langit hidupnya diterpa badai. Seperti opera yang tak pernah berakhir, hidup Laila adalah sebuah lakon cinta dan perjuangan yang begitu menggetarkan. Ia adalah pemeran sejati yang mewakafkan seluruh hidupnya demi satu tujuan: menghibur.
Lahir di Padang Panjang, Sumatra Barat pada 4 November 1935, Laila tumbuh dalam keluarga yang tak pernah lekang dari tantangan. Ayahnya berpulang ketika ia baru berusia dua tahun, meninggalkan ibunya untuk berjuang seorang diri. Sebuah perpindahan ke Jawa membawa Laila kecil ke dunia baru. Babak awal yang tanpa ia sadari bakal membentuk panggung hidupnya.
Ketika ibunya berhenti menyanyi demi alasan keyakinan, Laila mengambil alih. Suara kecilnya mulai mengalun dari panggung pernikahan di Pontianak kemudian melintasi ruang dan waktu. Dari sinilah untuk kali pertama dunia mulai melihat secercah keajaiban yang kelak tumbuh jadi legenda.
DITERPA BADAI
Dari menyanyi di acara-acara militer hingga dipanggil Presiden Sukarno untuk meramaikan Hari Kemerdekaan di Istana Negara membuat Laila terus berkibar. Kemilaunya tak hanya terbatas pada suara namun ia juga menjelajahi seni peran. Menorehkan jejak dalam puluhan film dari Kembang Katjang hingga Musik Untuk Cinta. Dalam setiap peran ia tidak hanya tampil tetapi juga hidup. Laila memberikan dirinya sepenuhnya untuk seni seolah setiap panggung adalah rumahnya dan sorakan penonton serasa napasnya.
Namun di balik gemerlap itu semua terpaan badai tak pernah reda. Pernikahan pertamanya meski penuh harapan berakhir dengan pengkhianatan. Tahun 1960, Laila menikah dengan seorang pria blasteran Belanda bernama Boertje atau Murdadi Iskandar yang usianya lima puluh tahun lebih tua darinya.
Laila harus menghadapi kenyataan pahit atas vonis dokter bahwa ia tidak bisa memiliki anak. Namun ia menerima kenyataan ini dengan lapang dada kemudian mengangkat seorang anak dan melanjutkan hidup dengan suami yang menjadi belahan jiwanya.
Tragedi lain datang pada tahun 2000, saat sang ibu dan suami meninggalkannya hanya dalam selang waktu tujuh hari. Sejak itulah hidup Laila berubah menjadi panggung perjuangan. Di usia senjanya ia menjadi tulang punggung keluarga bahkan ketika tubuhnya yang ringkih harus melawan kelelahan. Ia berusaha tersenyum di tengah kemiskinan tetap menjadi penghibur bagi orang lain meski hatinya remuk redam.
“Air mataku sudah tandas,” ungkapnya suatu kali. Namun Laila tak pernah menyerah. Pekerjaan menjadi pelariannya dari kesedihan, sebuah cara untuk tetap menjaga bara api tak pernah padam di hatinya.
BABAK KIAMAT
Laila Sari meninggalkan panggung dunia pada 20 November 2017 dalam usia 82 tahun. Ia pergi setelah kelelahan akibat jadwal kerja yang padat, seolah ia ingin memberikan seluruh dirinya hingga detik terakhir. Dirinya dimakamkan di TPU Karet Bivak, satu liang lahat dengan suaminya tercinta sebagai lambang cinta yang melampaui dunia.
Kepergian Laila adalah akhir dari sebuah opera panjang tetapi seperti sebuah karya besar, ia tidak akan pernah benar-benar selesai. Namanya akan selalu dikenang, seperti nyanyian yang menggema di hati mereka yang pernah terhibur oleh kehadirannya. Laila adalah pelita yang tak pernah padam meski badai menerpa. Seorang penghibur sejati, hingga kisah hidupnya tamat, kiamat.
"Jagalah panggung hiburan jangan sampai lengang karena orang-orang membutuhkan." Satu kalimat yang Laila diwariskan pada para penerus.
Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut.
Editor : Redaksi