Pemikiran kritis yang mewarnai ruang dialog kiranya menarik untuk dipertimbangkan. Bahwa di negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, sertifikasi produk halal seharusnya tidak menjadi kewajiban. Justru sertifikasi terhadap produk yang haram lebih relevan karena untuk menghindari kekeliruan konsumen Muslim saat berbelanja.
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, Indonesia memberlakukan sertifikasi halal bagi produk yang beredar di pasaran. Namun, kebijakan tersebut kontroversial.
Kewajiban sertifikasi halal diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang menyatakan bahwa setiap produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib memiliki sertifikat halal. Secara prinsip bertujuan untuk menjamin produk yang dikonsumsi masyarakat telah memenuhi kriteria halal.
Tetapi muncul masalah ketika proses sertifikasi dianggap menjadi ajang korupsi dan kurang transparan. Salah satu lembaga yang disorot adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dana proses sertifikasi halal yang dipungut dan dikelola MUI tak pernah diungkap ke publik.
Potensi pemasukan ditaksir bisa mencapai ratusan miliar rupiah per tahun. Namun, MUI merasa tak perlu membeberkan keuangannya meski memungut dana dari publik. Alasannya, banyak lembaga lain yang juga tidak menjabarkan keuangannya, demikian reportase tirto.id tertanggal 20 April 2018.
Tarif sertifikasi halal juga menjadi beban tersendiri bagi para pelaku usaha, terutama bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Biaya reguler yang ditetapkan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Untuk UMKM mencapai Rp 650.000, terdiri dari biaya pendaftaran dan pemeriksaan kehalalan produk. Untuk mempermudah UMKM, BPJPH telah menyediakan layanan sertifikasi gratis pada 2024 untuk satu juta UMKM, tetapi masih ada persyaratan ketat yang harus dipenuhi.
Tantangan Industri Halal
Di pasar global, Indonesia merupakan konsumen terbesar produk halal. Hanya saja Indonesia masih bergantung pada produk impor untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Data dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal menunjukkan bahwa, 12,6% industri halal pada sektor makanan masih bergantung pada impor walaupun negara ini memiliki populasi Muslim terbesar di dunia.
Hal itu menunjukkan bahwa ekonomi halal di Indonesia masih belum optimal. Menurut laporan Indonesia Halal Markets Report 2021/2022, sektor ini memiliki potensi untuk menambah Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar USD 5,1 miliar atau sekitar Rp 72,9 triliun per tahun melalui ekspor dan investasi.
Sertifikasi halal memberikan jaminan bagi konsumen bahwa produk telah diproduksi sesuai standar halal. Ini penting bagi pelaku UMKM untuk memperluas pasar mereka, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di pasar global yang memiliki permintaan besar terhadap produk halal. Namun, proses sertifikasi berlangsung lambat dengan durasi sekitar 21 hari kerja serta adanya kewajiban pembaharuan secara berkala dapat membebani pelaku usaha.
Fokus Sertifikasi Haram
Beberapa pengamat berpendapat bahwa kebijakan sertifikasi di Indonesia perlu direvisi. Alih-alih mengharuskan seluruh produk yang beredar untuk memiliki sertifikat halal, mungkin lebih efisien untuk menerapkan sertifikasi pada produk yang haram atau mengandung bahan yang meragukan.
Dengan demikian konsumen Muslim tidak perlu meragukan status halal mayoritas produk yang ada di pasaran sementara produk yang berpotensi haram akan memiliki label yang jelas.
Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi