x
x

Manusia Adalah Makhluk Paradoks

Selasa, 29 Okt 2024 09:24 WIB

Reporter : Redaksi

Menjadi manusia memang persoalan bagi manusia itu sendiri. Suatu ketika manusia merasa bangga diciptakan lebih mulia daripada makhluk lain  namun ketika melihat tanda-tanda hendak dipanggil oleh Sang Pencipta, perilakunya meniru burung onta. Kepalanya disembunyikan agar tidak  terlihat malaikat maut.

Tidak juga orang-orang yang mendaku beriman yang sibuk ritual tetap saja dihinggapi kekhawatiran, takut dipanggil Tuhan. Berapapun tabungan  dibelanjakan untuk pengobatan agar memperlambat perjumpaan dengan Tuhan. Alasannya klasik  "sangunya" belum cukup. Apa dikira hendak wisata religi yang menguras tabungan kekayaan? Aneh bin paradoks.

Paradoks memang sesuatu yang bertolak belakang dengan logika tetapi menyiratkan kebenaran. Definisi tersebut tampaknya cocok diarahkan pada manusia. Makhluk yang sering tersesat dalam paradoks kehidupannya sendiri.

Coba amati saja grup-grup WhatsApp yang menyita ruang ponsel. Awal mulanya ingin menjalin kekerabatan, konco lawas ataukah rekan kerja, pada kenyataannya malah jadi ajang guyon tak terarah. Jarang ada dialog yang mempertajam pikiran? Malah sering diisi dengan gambar-gambar lucu bertulis;  Mari shalat. Jangan lupa shalat.  Waktunya shalat. Selamat menunaikan ibadah dan semacamnya ...

Seolah setiap pesan bersifat suci yang bisa mengantarkan  ke surga tanpa perlu  merenungi filosofi secara mendalam. Pesan-pesan berhamburan siang malam tapi tidak memperkaya religiusitas karena hanya duplikasi kalimat yang  diulang-ulang. Bahkan pengalaman spiritual yang diunggah bukan empiris, hanya penuturan orang lain yang sudah dicopy ribuan kali.

BISNIS KETAKUTAN

Di mimbar-mimbar penyiar agama begitu pintar mendongeng tentang surga dan neraka. Semakin lucu, semakin serem semakin laris tanggapan dengan tema yang selalu diulang, yakni menjual ketakutan.

Orang yang menghabiskan waktu membahas kematian mengapa justru takut dengan kematian? Apakah benar mereka memahami apa yang sedang mereka persiapkan? Ataukah semua itu sekadar kekhawatiran akan hidup sesudah mati.

Kita terlalu sibuk menyiapkan bekal hidup sesudah mati, kata seorang perenung, tapi coba tanyakan satu hal yang sederhana, apa sudah siap mati?. Jawabannya hampir bisa dipastikan, "Belum." Benar-benar paradoks.

Adagium paradoks bisa digambarkan pada seseorang yang begitu gembira mendapat undangan dari pejabat, apakah bupati atau walikota, sudah dianggap suatu kehormatan. Bagaimana kalau  diundang bertemu presiden?

Bagi sebagian orang, momen tersebut patut diabadikan secara khusus kemudian fotonya dipajang di setiap sudut rumah sebagai bukti bahwa dirinya telah sampai di titik yang diimpikan banyak orang.

Namun giliran menerima ‘panggilan’ dari Sang Maha Kuasa? Jawabannya akan berbeda. Bukannya merasa terhormat  malah gelisahnya bukan main. Seolah panggilan tersebut terlalu dini. Sungguh  paradoks!

Orang-orang yang mengaku beriman, konon impian terbesarnya adalah bertemu dengan pencipta-Nya. Tapi, mengapa impian itu berubah jadi ketakutan ketika kesempatan  mendekat? Betapa kontrasnya harapan dalam doa dengan sikapnya. Manusia  teramat sering membaca doa tetapi lupa pada makna yang diucapkan dari bibirnya  sendiri.

Sungguh benar  manusia dengan segala paradoksnya. Setiap ucapan sering  bertolak belakang dengan pikirannya. Setiap mimpi berbeda dengan kenyataan. Dan, kita adalah contoh terbaik dari kontradiksi itu sendiri. Mungkin saja.

Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.

Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

 

Editor : Redaksi

LAINNYA