Peran media dalam demokrasi selalu menjadi sorotan, terlebih pada masa kampanye politik seperti Pilkada Serentak 2024. Media online yang saat ini menjamur pasca reformasi dijadikan alat dalam membentuk opini publik dan pencitraan kandidat. Media yang seharusnya bersikap netral banyak yang terjebak melanggar aturan jurnalisme.
Dengan kemudahan mendirikan media tanpa syarat-syarat ketat seperti di masa Orde Baru, banyak pihak yang menggunakannya sebagai alat kampanye. Namun di balik kemudahan itu, tersembunyi tantangan besar, yakni menyelamatkan etika jurnalistik dan independensi media di tengah godaan keuntungan finansial dan politik.
Pasca reformasi 1998 gelombang kebebasan pers membuka banyak peluang. Media tumbuh tanpa batas dan sayangnya tanpa standar yang memadai. Standarisasi manajemen, kompetensi serta kepatuhan terhadap kode etik jurnalistik seringkali diabaikan. Dengan bermodal sedikit uang dan dokumen formal dari notaris serta Kemenkumham, siapa pun bisa memiliki dan mengelola media.
Banyak yang tergiur dengan peluang ini, lalu menawarkan posisi "wartawan" kepada siapa saja tanpa memperhatikan kompetensi atau tanggung jawab etik. Tragisnya, para wartawan ini disuruh mencari bayaran sendiri saat meliput, menciptakan ketergantungan pada tim sukses kandidat yang mengincar pencitraan positif.
Fenomena ini menjadi bentuk normalisasi deviasi. Tindakan yang melanggar aturan jurnalisme yang seharusnya bersifat netral dan berimbang malah dipandang lumrah dan diterima secara luas. Meskipun terlihat sebagai norma baru, penyimpangan tetaplah penyimpangan, dan salah menurut hukum dan etika.
Dampaknya berbahaya karena batas antara yang benar dan salah kabur, standar moral media jadi merosot. Di tengah panasnya kampanye Pilkada, banyak wartawan diarahkan untuk menulis berita "by design", sesuai dengan kepentingan kandidat dengan memanipulasi informasi yang disampaikan ke publik.
Kita sedang menyaksikan bagaimana perang media dalam Pilkada bisa mengaburkan objektivitas. Para kandidat berlomba memanfaatkan wartawan untuk menyebarkan berita "framing", bahkan kampanye hitam. Dengan cara ini, media menjadi alat propaganda, bukan lagi sumber informasi netral yang membantu masyarakat dalam menentukan keputusan yang tepat.
Alih-alih menyajikan visi misi dan gagasan dari setiap calon, media yang seharusnya menjadi penyeimbang justru menjadi corong salah satu pihak. Hal ini sangat merugikan masyarakat yang membutuhkan informasi yang benar dan berimbang untuk menentukan pilihannya.
Pilkada Serentak 2024 yang berlangsung pada 27 November 2024 merupakan momentum besar bagi demokrasi Indonesia. Tahapan kampanye telah dimulai sejak 25 September menjadi kesempatan bagi kandidat untuk menyampaikan gagasan dan program mereka. Namun, di tengah panasnya persaingan, publik terjebak dalam kebingungan karena pemberitaan media yang tidak lagi netral.
Setiap kandidat memanfaatkan media sebagai alat kampanye bahkan memperalat wartawan untuk menyerang pesaing politiknya. Hal ini jelas melanggar etika jurnalisme yang seharusnya media bersikap netral dan menulis berita secara berimbang atau cover both sides.
Di sisi lain, bagi para pengelola media, masa kampanye adalah peluang emas untuk meraup keuntungan. Penulisan advertorial dan pemasangan iklan dari tim kampanye kandidat dipandang sebagai sumber penghidupan yang menggiurkan. Namun di sinilah dilema muncul. Media berada di persimpangan jalan, antara menjaga integritas dan netralitasnya, atau terjebak dalam permainan politik demi keuntungan finansial.
Fenomena ini harus segera diluruskan. Jika pihak otoritas, baik pemerintah, asosiasi pers, maupun lembaga terkait tidak bertindak tegas maka situasi ini bisa semakin parah. Yang paling dirugikan adalah rakyat, yang hak pilihnya terdistorsi oleh informasi yang salah. Salah memilih pemimpin karena terpengaruh berita yang tidak objektif akan berdampak pada kebijakan publik yang mengurusi kehidupan sehari-hari mereka.
Media memegang peran penting dalam menjaga demokrasi. Jika media tidak segera kembali ke jalur etika maka masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap media. Menjaga netralitas, kebenaran, dan integritas dalam pemberitaan adalah tugas utama media, terutama di masa-masa kritis seperti Pilkada. Karena di tengah kebingungan publik, suara media adalah kompas yang seharusnya membantu menemukan arah yang benar, bukan menyesatkan.
Di persimpangan jalan inilah media harus menetukan pilihan, apakah tetap menjadi pilar keempat demokrasi yang netral dan independen atau tergelincir dalam permainan politik demi keuntungan jangka pendek. Pilihan ini akan menentukan masa depan jurnalisme, dan lebih luas lagi menyangkut kualitas demokrasi di Indonesia.
Penulis : Rokimdakas
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi