x
x

Essai. Berdoa Tanpa Tindakan Ibarat Mengecat Angin

Rabu, 17 Jul 2024 16:53 WIB

Reporter : Rokimdakas

Sebuah pitutur mengatakan, "Berdoalah jika mengharap pertolongan dari Tuhan." Why? "Karena doa merupakan bentuk penghambaan pada suatu Dzat Agung di luar diri yang bersifat supra." 

Semudah itukah? Apa kalau sudah berdoa lalu masalah yang dihadapi terselesaikan? Bukannya banyak yang berdoa secara rutin ternyata masalah yang dihadapi tak kunjung padam?

Jangan-jangan persepsinya perlu dibenahi dalam memahami doa. Malah jika mengamati orang-orang yang nggak 'kemalan' berdoa, kondisinya tampak lebih oke. Why?

Kadang ada benarnya sebuah, menjadi manusia kiranya persoalan bagi manusia itu sendiri. 

Ada banyak pilihan yang ditawarkan oleh kehidupan ini. Apakah perlu bertuhan agar bisa merasa memiliki sandaran di kala membutuhkan pelampiasan batiniah. Ataukah tidak perlu bertuhan,  tanpa perlu terikat oleh kaidah luar nalar namun mengandalkan kekuatan pikiran dan moralitas. Beragam persepsi mewarnai kehidupan manusia sejak tumbuhnya peradaban di jagat hingga waktu tak mengenal waktu.

Dalam menilai perlu kiranya suatu  pembandingan. Berdasar survey tentang negara sejahtera terbaca adanya keanehan. Anehnya, negara-negara yang mayoritas penduduknya atheis malah sejahtera. Angka kriminalitasnya sangat rendah, penjaranya kosong. Jika ada kasus pembunuhan, walau hanya menimpa satu orang, kisahnya bisa menjadi topik sepanjang tahun karena dianggap mencederai nilai kemanusiaan.

Sebaliknya pada negara yang penduduknya menganut paham paham theisme, religius, kondisinya tidak bisa dikatakan baik-baik saja bila tidak boleh disebut terbelakang, ketimpangan sosial menganga begitu lebar. Sering terjadi tragedi kemanusiaan, dan itu diceritakan sambil bersendau-gurau seperti membahas opera sabun.

Di negara yang mayoritas bertuhan, religius, seperti Indonesia, setiap saat berjuta orang melantunkan doa yang redaksionalnya sesak dengan harapan. Namun kenyataannya masih jauh panggang dari api. Nyaris tidak ada perubahan atas kebobrokan percaturan  politik menjadi lebih baik. Korupsi telah membudaya seakan menjadi post truth, keburukan yang diulang-ulang dianggap kelumrahan. 

Aparat kepolisian tak ubahnya seperti pagar makan tanaman. Agamawan menjadi pengusaha religi yang orientasi hidupnya memburu materi tanpa perlu  bersusah payah sebagaimana kaum paria. Sementara juru warta yang seharusnya berperan sebagai kontrol sosial telah kehilangan agenda  perjuangan dan berubah menjadi corong pemangku kepentingan. Begitu banyak lini peran sosial  tidak lagi 'on the track'.

Sebening apapun kacamata yang digunakan untuk melihat realita  Indonesia hari ini impresi yang terlihat  keburaman semata. Walau dianjurkan untuk bersikap optimis namun sulit untuk seiya sekata dimana antara harapan dan kenyataan kian menjurang.

Kembali ke doa. Bisa dikatakan ada persepsi yang perlu dibenahi. Mengapa berjuta doa tidak mengubah realita? Bisa dikatakan yang berdoa seperti menghisap ganja. Setelah berdoa  perasaan 'plong', hepi,  sampai di situ saja, tidak lebih. 

Setelah mengutarakan doa tidak mengkondisikan diri untuk mengolah kata-kata menjadi tindakan. Padahal berdoa tanpa bertindak tak ubahnya mengecat angin. Dan, setetes keringat lebih bermakna daripada sejuta doa.

Ditulis oleh : Rokimdakas

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.

Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

 

 

Editor : Ali Topan

LAINNYA