Reporter : Redaksi
Anggun Setyarini,S.Kep.,Ns.,M.Kep
Dosen Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Malang
JATIMKINI.COM, Kejadian hipertensi atau tekanan darah tinggi menjadi tantangan utama dalam Pembangunan Kesehatan Masyarakat Indonesia karena usia penderita semakin muda. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan angka prevalensi hipertensi pada remaja di Indonesia meningkat cukup tajam semula 8,7% pada tahun 2013 menjadi 13,2% di tahun 2018.
Remaja yang hipertensi akan lebih berisiko tinggi mengalami gangguan kesehatan yang sama ketika berusia dewasa. Sayangnya, masyarakat dan keluarga belum banyak yang memberikan perhatian serius karena gejala hipertensi acapkali tidak tampak khususnya pada remaja.
Bahkan, kebanyakan orang tidak menyadari bahwa dirinya mengalami hipertensi. Padahal, Penyakit Tidak Menular (PTM) ini menjadi penyebab 45% kematian karena gangguan kardiovaskuler dan 51% kematian karena strok.
Menurut JNC VII 2003, prehipertensi adalah kondisi di mana tekanan darah sistolik berada dalam rentang 120-139 mmHg dan tekanan darah diastolik berada dalam rentang 80-89 mmHg. Hipertensi tingkat 1 didiagnosis ketika tekanan darah sistolik berkisar antara 140-159 mmHg dan tekanan darah diastolik antara 90-99 mmHg. Sementara itu, hipertensi tingkat 2 terjadi ketika tekanan darah sistolik melebihi 160 mmHg dan tekanan darah diastolik melebihi 100 mmHg.
Dalam konteks ini, remaja yang mengalami hipertensi akan lebih berisiko mengalami penyakit jantung, gagal ginjal, strok, dan berisiko mengalami gangguan mental. Hipertensi pada remaja dapat menyebabkan kerusakan pada dinding arteri dan menyebabkan aterosklerosis, yang merupakan faktor risiko utama untuk penyakit jantung koroner.
Remaja dengan hipertensi juga memiliki kemungkinan lebih tinggi mengalami strok iskemik atau hemoragik di masa dewasa. Hipertensi akan meningkatkan risiko kerusakan pada pembuluh darah di ginjal yang seiring waktu, ini dapat mengarah pada penyakit ginjal kronis atau bahkan gagal ginjal.
Gaya hidup
Hipertensi dapat disebabkan oleh gaya hidup yang tidak sehat, stres, genetik dan obesitas. Konsumsi makanan cepat saji yang tinggi garam, rendah serat, dan lemak jenuh, serta kurangnya aktivitas fisik, semakin umum di kalangan remaja. Hal ini tentu dapat meningkatkan risiko hipertensi.
Risiko lainnya bisa karena faktor tekanan akademik, sosial, dan keluarga sehingga menyebabkan tingkat stres yang tinggi pada remaja. Selain itu adanya riwayat keluarga pernah mengalami hipertensi serta tingkat obesitas yang semakin meningkat di kalangan remaja.
Adapun persoalan obesitas sangat erat kaitannya dengan pola makan dan aktivitas remaja. Saat ini, remaja sangat menggemari makanan dan minuman padat energi. Sayangnya, tidak semua makanan dan minuman padat energi itu kaya akan nilai gizi. Makanan dan minuman seperti itu disebut energy-dense, nutrient-poor (EDNP), yakni padat energi, rendah gizi.
Sebuah penelitian di Denmark oleh Jensen dkk tahun 2022 mengklasifikasikan permen, coklat, kue, kue kering, biskuit, makanan ringan manis dan asin, minuman yang dimaniskan dengan gula atau pemanis buatan serta minuman beralkohol sebagai EDNP. Kini, jenis makanan tersebut semakin banyak ditawarkan di setiap tempat belanja maupun pusat kuliner. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi remaja untuk dapat bijak memilih makanan dan minuman yang sehat.
Bila tidak menyadari dampak dari terlalu sering mengonsumsi makanan dengan densitas energi tinggi, risikonya dapat menyebabkan kelebihan energi yang akan disimpan dalam bentuk timbunan lemak tubuh. Bila berlebihan dapat berujung pada kegemukan dan obesitas. Lemak yang terlalu banyak dalam tubuh dapat menyebabkan pembuluh darah menyempit dan meningkatkan tekanan darah.
Peneliti lainnya, Flyn dari Divisi Nefrologi Seattle Children’s Hospital, University of Washingthon, juga menjelaskan hal yang sama, bahwa overweight, obesitas dan kurang aktivitas, sangat berhubungan erat dengan kasus peningkatan tekanan darah pada anak dan remaja.
Karena itu, remaja sebagai penerus bangsa di masa depan harus dipersiapkan dengan baik kualitas kesehatannya. Mereka jangan dibiarkan menanggung masalah kesehatan lebih cepat dari generasi sebelumnya. Sebab overweight dan obesitas bukan saja meningkatkan risiko hipertensi, melainkan juga berkontribusi pada berbagai masalah kesehatan lainnya. Termasuk diabetes tipe 2, penyakit jantung, dan gangguan metabolisme lainnya.
Hasil penelitian
Anggun Setyarini dari Poltekkes Kemenkes Malang mengungkapkan hasil penelitian terbarunya pada 116 remaja di dua SMA di Kota Malang, Jawa Timur. Hasil riset menunjukkan sebanyak 45,7% dari total responden mengalami prehipertensi. Sebesar 10,3% menderita hipertensi tingkat 1, dan sebesar 5% mengalami hipertensi tingkat 2. Hipertensi juga ditemukan pada 19,8% remaja yang mengalami overweight dan 7% mengalami obesitas.
Hasil penelitian ini pula memaparkan perilaku remaja dalam pencegahan hipertensi dipengaruhi oleh keyakinan mereka mengenai kesehatan (health belief). Teori health belief model (HBM) yang dikembangkan oleh Rosenstock pada tahun 1950-an telah banyak digunakan untuk penelitian kesehatan masyarakat, termasuk dalam memahami perilaku pencegahan hipertensi pada remaja. Menurut teori HBM, individu akan melakukan perilaku pencegahan kesehatan jika mereka percaya bahwa mereka rentan terhadap penyakit tersebut. Mereka juga percaya bahwa penyakit tersebut memiliki konsekuensi yang serius. Selain itu, mereka percaya bahwa manfaat perilaku pencegahan lebih besar daripada hambatannya. Termasuk mereka memiliki keyakinan diri untuk melakukan perilaku pencegahan.
Temuan dari hasil riset ini hendaknya menyadarkan semua pihak tentang pentingnya upaya pencegahan hipertensi pada remaja. Sebab, prevalensi hipertensi remaja memiliki implikasi jangka panjang pada masalah kesehatan di masa depan.
Selanjutnya, dari hasil penelitian ini dapat direkomendasikan berbagai upaya untuk meningkatkan pencegahan hipertensi pada remaja. Untuk itu, sejumlah rekomendasi dari hasil penelitian ini dapat diarahkan kepada berbagai pihak.
Pertama, remaja perlu disadarkan akan pentingnya menjaga kesehatan, termasuk memahami dampak dari kebiasaan makan dan pola hidup mereka terhadap risiko hipertensi. Remaja harus berinisiatif menjaga kesehatan dengan memilih makanan sehat dan melakukan olahraga secara teratur, mengelola stres dengan baik, mengatur berat badan dan rutin melakukan pemeriksaan tekanan darah. Mereka juga dapat mencari dukungan dari teman sebaya atau profesional kesehatan jika mengalami kesulitan dalam mengelola berat badan.
Kedua, sekolah-sekolah dapat memperkuat program kesehatan sekolah dengan memberikan pendidikan tentang pentingnya perilaku pencegahan hipertensi, pendidikan kesehatan yang mencakup topik-topik seperti nutrisi seimbang, manajemen berat badan, dan pentingnya aktivitas fisik. Selanjutnya, memperkuat Unit Kesehatan Sekolah (UKS) dalam skrining tekanan darah secara rutin di sekolah. Sekolah juga dapat menjadi model bagi gaya hidup sehat dengan menyediakan makanan bergizi di kantin dan mendukung kegiatan olahraga.
Ketiga, pemerintah daerah perlu menggalakkan program-program kesehatan masyarakat yang fokus pada edukasi tentang perilaku pencegahan hipertensi remaja dengan mengatur pola makan sehat dan aktivitas fisik. Penyediaan fasilitas olahraga yang terjangkau dan aman juga harus dipertimbangkan untuk mendorong remaja agar lebih aktif secara fisik.
Keempat, orang tua perlu mendukung gaya hidup sehat bagi anak-anak dan remaja dengan menyediakan makanan bergizi di rumah, membatasi konsumsi makanan cepat saji, serta mendorong mereka terlibat aktif dalam aktivitas fisik yang menyenangkan.
Kelima, akademisi institusi pendidikan perawat diharapkan dapat turut andil dalam penelitian dan pengabdian masyarakat terkait peningkatan perilaku pencegahan hipertensi pada remaja.
Melalui kolaborasi berbagai pihak antara remaja, sekolah, pemerintah, akademisi dan orang tua, diharapkan akan terjadi perubahan yang baik dalam penurunan prevalensi overweight, obesitas, dan hipertensi pada remaja.
Editor : Bagus Suryo