x
x

Perlu Bijak Menyikapi Politik Kontemporer

Sabtu, 23 Des 2023 15:47 WIB

Reporter : Rokimdakas

JATIMKINI.COM, Sebanyak apapun buku yang dibaca seseorang belum bisa dinilai sebagai intelektual jika belum mampu membaca kehidupan dengan baik.

Tolok ukur intelektualitas juga bukan sekadar ditakar dengan tingkat pendidikan. Betapa sering ditemukan produk pendidikan tinggi yang hanya pintar  berteori ala text book,  gagal memeras saripati pengetauan menjadi bahasa tersendiri lantaran belum mendalami kehidupan yang perlu dibaca secara utuh, integral, bila perlu secara  holistik.

Kemudian menafsir serta memaknai setiap peristiwa. Perlu bijak dalam menyikapi dinamika konstelasi politik kontemporer Indonesia. Meski melawan arus  umum,  dialektika pemikiran perlu ditumbuhkan dalam rangka menguji. Waktu terus menyimak sampai suatu ketika  menerangkan kebenarannya.

Eksplorasi media sosial begitu riuh dalam merespon pesta demokrasi 2024, terutama menyangkut pemilihan presiden dan wakil presiden. Sebagian menanggapi secara minor keputusan Mahkamah Konstitusi menetapkan batasan usia kepemimpinan nasional di bawah empat puluh tahun. Yang lain melontarkan  penghujatan di luar batas kepatutan diarahkan pada Presiden Jokowi yang dikira berperan atas keputusan itu yang kemudian membuka peluang bagi putranya, Gibran, untuk tampil sebagai cawapres mendampingi Prabowo.

Arus besar tidak selalu benar. Gelombang serapah bagai sampah menggunung, orang-orang  pintar kehilangan akal sehat dalam membaca gerak kehidupan dengan pikiran dingin dan hati yang jernih. Banyak yang hanyut tak bisa menilai kerusakan situasi yang dikipas pengobar isu yang belum mengetaui akurasi  masalah tetapi disebar secara serampangan.

Bangsa kita memang dikenal sebagai bangsa sumbu pendek, gampang terbakar oleh  isu-isu picisan, reaktif,  tidak waspada terhadap hoaksinasi. Pembohongan yang didesain secara  sistematis, terstruktur lalu disebar luaskan. Publik dengan muatan pikiran  terbatas seperti serpihan kertas diombang-ambing angin.  Kebohongan yang disampaikan  secara ajeg dianggap sebagai kebenaran. Demikian agenda post truth mewarnai kontestasi Pilpres  2024.

Karena bangsa sumbu pendek, pendek pula daya ingatnya. Jauh- jauh hari betapa warga bangsa mendambakan adanya percepatan regenerasi yang terkendala oleh  dominasi kekuasaan generasi 'old crack'. Juga reformasi birokrasi pemerintah yang terhadang patron eselon yang stag, KKN dan feodalistik.

Kebutuhan zaman menuntut adanya perubahan besar dan mendasar. Ketika jawaban itu dihadirkan seakan sedang menelan buah simalakama.

Bagi petarung zaman,   berkorban demi mengubah peradaban menyadari adanya beaya sejarah yang harus dibayar sungguhpun menelan korban. Semakin besar suatu pengorbanan semakin besar suatu perubahan. Dan, petarung zaman selalu mendahului zamannya. Di kemudian hari masyarakat baru paham  ketika martir yang dihujat ternata mewariskan jejak keberaniannya. Semula dia dianggap perusak tatanan, terutama mengoyak  golongan yang menikmati kemakmuran zona aman yang tidak akan pernah merasa kenyang.

Pada saatnya orang-orang yang berprasangka buruk atas dinamika politik Indonesia hari ini memahami kebenarannya. Pada saat seperti itulah dirinya dihujam perasaan malu yang amat sangat hingga ke liang lahat. Malu pada sejarah.

Editor : Ali Topan

LAINNYA