Kasihan Petani Sawahnya Sering Rugi

Reporter : Rokimdakas
Para buruh sawah di Desa Gebangsiwil, Nganjuk sedang mencabut bibit padi untuk ditanam. (Foto: Jatimkini.com/Rokimdakas))

JATIMKINI.COM, Tema pedesaan begitu seksi. Panorama desa, potret kehidupan petani tampak begitu indah. Perbincangan di media sosial begitu riuh jika menyangkut gadis desa,  janda desa juga tentang kuliner kerap menyita perhatian penggemar wisata.

Namun di balik kekaguman seperti itu, perlu kiranya menelisik kehidupan di sawah. Sudah puluhan tahun petani terlilit masalah pupuk. Pupuk subsidi dari pemerintah yang pembagiannya ditangani oleh Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani), jatahnya  jauh dari kebutuhan, dari segi mutu pun jadi persoalan. Untuk itu harus membeli pupuk non subsidi berharga mahal.

Baca juga: Korupsi Rp 10 Triliun di Mendikbudristek Era Nadiem

Faktor pupuk inilah yang menyebabkan petani harus mengeluarkan beaya tinggi,  ditambah ongkos buruh saat tanam dan  panen sehingga hasilnya tidak seimbang dengan beaya produksi. Banyak isu yang melingkari krisis pupuk.

Masalah yang dihadapi petani Indonesia terkait pupuk memang sangat kompleks, dipengaruhi oleh berbagai faktor struktural dan kebijakan. Proses distribusi pupuk seringkali terhambat oleh birokrasi yang rumit, tidak efisien, sehingga alokasi pupuk tidak sesuai dengan kebutuhan petani.

Pada struktur kelembagaan pemerintah terdapat petugas penyuluh pertanian namun di lapangan petani mengaku tidak pernah didampingi, sehingga petani yang tidak memperoleh bimbingan tentang kebutuhan pupuk atau cara penggunaan yang proporsional.

Pupuk subsidi yang seharusnya membantu justru menjadi masalah karena distribusi yang tidak merata,  petani terpaksa membeli pupuk mahal. Kebijakan pemerintah sering tidak mengakomodir kebutuhan petani. Ketergantungan pada pupuk kimia dan kurangnya pengembangan alternatif organik mengakibatkan kesuburan tanah   rusak berkepanjangan.

Baca juga: Ramai-Ramai Mengemis Pada Asing Lalu Merusak Negara Sendiri

Problem petani semakin tumpang tindih oleh adanya monopoli pemasaran yang  pervasif, terjadi di  mana-mana dengan akibat yang sangat terasa. Praktik korupsi dan lobi-lobi politik semakin  memperburuk problem petani.

Keruwetan bertambah oleh adanya campur tangan partai politik yang berkuasa mengendalikan monopoli pemasaran. Bagi yang ingin menjadi distributor diwajibkan menyetorkan dana jaminan sebesar Rp 2 milyar. Kasihan petani.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan integral. Yakni reformasi birokrasi, peningkatan kualitas pupuk berharga murah. Memberikan edukasi petani serta kehendak politik yang berpihak pada kepentingan petani. Petani selalu berharap dan berharap adanya perbaikan. Namun harapan itu seperti memanah angin.

Baca juga: Ketika Dogma Tersesat  di Lorong Usang

 

 

Editor : Ali Topan

Ekonomi
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru