JATIMKINI.COM, Pemerintah Kota Surabaya bersama BKKBN Jawa Timur menggelar diseminasi hasil audit kasus stunting Termin 1 tahun 2025. Agenda ini melibatkan 153 kelurahan dan 31 kecamatan se-Kota Surabaya, sebagai bagian dari penguatan program zero stunting di Surabaya.
Program zero stunting di Surabaya bukan sekadar target angka. Ini menjadi cerminan keseriusan lintas sektor dalam menjamin tumbuh kembang anak-anak. Diseminasi yang digelar di Graha Sawunggaling pada Selasa (17/6/2025) menjadi ajang refleksi dan pemetaan ulang.
Hadir dalam acara ini Plt Sekretaris BKKBN Jatim dr. Sofyan Rizalanda, Asisten III Pemkot Anna Fajriatin, Kepala Dinkes Surabaya Nanik Sukristina, serta unsur Forkopimda dan akademisi dari Universitas Airlangga.
Menurut dr. Sofyan, audit kasus stunting tidak ditujukan untuk mencari kesalahan, melainkan untuk membedah masalah dengan pendekatan komprehensif. Ia menyebut bahwa stunting kini tak hanya menjangkiti anak dari keluarga miskin, tetapi juga dari keluarga mampu, terutama yang memiliki penyakit bawaan.
“Ini menunjukkan bahwa program zero stunting tidak bisa bergantung pada satu institusi. Semua unsur harus terlibat—dari birokrasi hingga masyarakat akar rumput,” tegasnya.
Diseminasi ini juga menyinggung keberlanjutan implementasi Perpres Nomor 72 Tahun 2021 tentang percepatan penurunan stunting. BKKBN Jatim menegaskan akan terus mendukung Pemkot Surabaya agar konsisten mempertahankan capaian dan memperluas dampak program zero stunting.
Staf Ahli Wali Kota Bidang Kemasyarakatan dan SDM, drg. Bisukma Kurniawati, menambahkan bahwa kegiatan ini merupakan implementasi dari Perwali No. 79 Tahun 2022. Audit dilakukan untuk menelusuri akar persoalan dan merumuskan langkah pencegahan yang tepat sasaran. “Tujuan akhirnya adalah menurunkan angka sekaligus mencegah munculnya kasus baru,” ujarnya.
Audit menyasar empat kelompok sasaran: keluarga berisiko, calon pengantin, ibu hamil, dan ibu nifas serta balita. Tahapannya mencakup pra-audit, audit, tindak lanjut, dan diseminasi. Data yang dihimpun dianalisis oleh tim pakar dari Unair untuk menemukan pola risiko yang berulang dan rekomendasi intervensi lanjutan.
drg. Bisukma, yang juga mantan Dirut RSUD BDH, menjelaskan perlunya intervensi menyeluruh. Dimulai dari pemberian tablet tambah darah, pendampingan ibu hamil, pemberian makanan tambahan, hingga pencegahan pernikahan usia anak. “Semua ini menuju satu sasaran besar: program zero stunting di Surabaya,” tegasnya.
Capaian Surabaya cukup impresif. Prevalensi stunting turun dari 28,9 persen pada 2021 menjadi hanya 1,6 persen di 2023. Ini bukan hasil kerja satu dinas, melainkan kolaborasi Pemkot Surabaya, kader Surabaya Hebat (KSH), akademisi, dan warga.
Meski begitu, tantangan masih ada. Audit Termin 1 menunjukkan bahwa tanpa konsistensi, lonjakan kasus bisa kembali terjadi.
Program zero stunting di Surabaya menuntut kerja kolektif yang berkelanjutan. Diseminasi kali ini menjadi pengingat bahwa keberhasilan masa lalu belum tentu menjamin masa depan, jika kolaborasi tidak terus dijaga dan diperkuat.
Editor : Rochman Arief
