Program perhutanan sosial memberikan manfaat menyejahterakan petani sekaligus meningkatkan ketahanan pangan dan solusi krisis pangan.
"Ketersediaan pangan sesuai kebijakan Presiden Joko Widodo memberikan akses seluasnya mulai distribusi lahan dan mengambil manfaatnya bagi masyarakat melalui perhutanan sosial," tegas Ketua Komunitas Manajemen Hutan Indonesia Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Asihing Kustanti, Selasa (18/10).
Ketua Program Magister Sosiologi itu menjelaskan melalui program yang sudah dirasakan manfaatnya itu hak sosial masyarakat sekitar hutan bergeser ketimbang dulu dikuasai pemilik modal.
Kinerja perhutanan sosial mampu mengubah status sosial semula sebagai penggarap atau buruh di lahan milik negara atau BUMN, kini memberikan akses lebih luas kepada rakyat.
"Itu bagus. Dari buruh menjadi tuan. Namun, perlu pendampingan dari perguruan tinggi," ujarnya.
Alhasil, petani banyak yang sejahtera. Di Banyuwangi, lanjutnya, pesanggem atau petani penggarap bisa panen cabai 3 ton. Dalam hal ini masyarakat diberi peluang mengolah lahan, menanam sampai memanen. Adapun kontrolnya dari pemerintah dan kelompok penggarap lahan.
Di Kabupaten Malang sekitar 3.000 an hektare digarap sejumlah kelompok petani. Akan tetapi, keberlanjutannya perlu pendampingan perguruan tinggi.
"Ini indikasi perkembangan penduduk sudah eksponensial dalam memenuhi kebutuhan hidupnya," katanya.
Menurut Asihing, keberlanjutan kebijakan Presiden Jokowi ini harus didukung penuh karena berpihak kepada rakyat. Perhutanan sosial telah meningkatkan peran gender melalui berbagai model pengembangan sektor pertanian termasuk konservasi. Program itu pula memunculkan teknik penguatan gender sejalan meningkatkan kesejahteraan tanpa merusak lingkungan.
Model perhutanan sosial itu mengemuka dalam International Conference on Agriculture and Food Sustainability (ICAFOSY) 2nd oleh Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Selasa (18/10).
Dalam konferensi itu, Asihing mempresentasikan kinerja pengelolaan hutan dengan tingkat pengetahuan stakeholder. Di dalamnya mengulas peran petani, pemerintah daerah dan kebijakn secara vertikal dan horizontal.
Asihing melakukan penelitian ekowisata di hutan mangrove Surabaya dan Gresik termasuk UB Forest di Malang. Kebanyakan pengelola wisata sudah memahami aturan main ekowisata. Namun, mereka kurang memperhatikan tata kelola sehingga objek wisata sulit berkembang. Padahal, pengelolaan pariwisata yang baik akan menyejahterakan warga.
Dalam konteks ini, ia memberikan masukan agar dilakukan perbaikan infrastruktur dan penambahan fasilitas ramah lingkungan. Manajemen pariwisata yang baik akan memberikan pelayanan prima pada pengunjung.
"Perlu sentuhan berbasis lingkungan hidup. Persampahan dibenahi. Selain eksotik pariwisata, alam dan kuliner juga kebersihan dan kesehatan harus diperhatikan," ucapnya.
Asihing mencatat perbaikan itu harus mencakup sarana prasarana, fasilitas yang ramah dan menyenangkan, tempat sampah dan pengolahan ramah lingkungan. Termasuk adanya petugas informasi selain promosi dan konsistensi pelestarian lingkungan.
Editor : Redaksi