JATIMKINI.COM, Dikisahkan kelak sesudah mati setiap orang akan diuji melewati jembatan. Bukan jembatan sembarang jembatan, bukan macam Jembatan Merah yang legendaris atawa jembatan Semanggi tapi bentuk jembatannya berupa rambut dibelah tujuh yang di bawahnya terhampar lautan api. Byuh ... Apa nggak ngeri-ngeri serem?
Hawong lomba Agustusan cuma melewati lonjoran bambu aja semua peserta kecemplung kali apalagi seukuran rambut, apalagi masih dibelah tujuh. Lulusan sekolah sirkus Beijing aja belum tentu mampu ngelakoni apalagi kita yang nggak pernah pernah latihan akrobat? Apa nggak semua manusia seisi bumi sejak ada nabi sampai nabinya jadi dongeng, semuanya kecemplung lalu terbakar jadi abu. Artinya, nggak ada yang layak masuk surga. Apa begitu?
Makin hari makin susah saja menjadi manusia yang manusia. Sepertinya menjadi manusia adalah masalah buat manusia.
Menjalani hidup aja sulitnya setengah mati lha kok setelah mati masih diuji yang jauh lebih ngeri dibanding semasa hidup di bumi. Apa Tuhan mencipta manusia hanya untuk bahan dulinan Dia doang. Mosok kita nggak diberi yang asik-asik sama sekali? Lalu dimana kemahaan sesembahan agung yang pemurah dan penyayang itu?
Mbok kalau membuat cerita itu yang masuk akal gitu lho. Menyodorkan dongeng itu yang asik-asik ajalah biar kita-kita yang mau belajar agama punya semangat menjalankan ajaran dengan asik. Kalau selalu ditakut-takuti dengan segala macam penyiksaan, ya lebih baik nggak usah belajar agama, toh tetep bisa hidup? Yang penting bertuhan, gitu aja kok repot.
Di zaman sekarang ketika pikiran orang jauh lebih pintar dibanding orang-orang di masa ribuan tahun silam yang peradabannya masih terbelakang, cerita yang mewarnai ajaran agama yang nggak masuk akal akan mendapat sanggahan. Penyampaian ajaran yang tidak logis tidak akan laku di pasaran agama. Bisa jadi saking takutnya kemudian orang menanggalkan agamanya lalu memilih murtad. Jika saja dampak penyampaian ajaran agama mengakibatkan banyak orang murtad maka dosa terbesarnya justru ditanggung oleh penyiar ajaran lho. Ini yang patut direnungkan dengan mata hati jernih oleh para penyiar.
Walaupun agama sudah menjadi industri religi, materi penyiaran perlu mempertimbangkan tingkat kecerdasan publik di era teknologi informasi. Berkat teknologi informasi menjadikan sekat antar negara, bangsa dan peradaban kehilangan batas. Kini masyarakat menemukan ruang pembelajaran yang lebih terbuka. Literasi religi maupun spiritual bisa diperoleh secara mudah untuk dipelajari. Jika pengetauan para penyiar agama tidak menyesuaikan dengan perkembangan budaya, apa yang disampaikan menjadi bahan tertawaan. Meski tertawa dalam hati tapi artinya sama, kepercayaan publik pada penyiar agama semakin pudar.
Di era kemajuan seperti sekarang, industri apakah yang tidak disiapkan untuk memenuhi hajat hidup masyarakat modern yang semakin manja dan ingin serba mudah demi waktu yang begitu berharga? Sampai-sampai untuk mengaduk kopi atau pun teh butuh alat bantu supaya tidak menguras waktu. Industriawan membaca fenomena itu dengan menyiapkan kapital besar.
Di tengah gegap gempitanya dunia industri, ada jenis industri yang tidak butuh pabrik, tidak perlu modal besar, tidak perlu memikirkan tanggungan bunga bank juga minim resiko. Industri apa itu? Industri religi.
Untuk itu perlu maskot pemikat pasar disertai tim marketing dan publisher. Semakin populer maskotnya bandrolnya meroket. Bandrol pasaran mengundang penceramah sekarang butuh dana jumbo, berkisar jutaan sampai puluhan juta, sudah tidak ada yang bertarif ratusan ribu. Bahkan kalau mengusung grup pengiring bisa menguras kotak sumbangan segudang untuk melunasi nilai kontrak ratusan juta.
Namanya industri, yang diutamakan bukan isi tapi hiburan, dagelan. Tema religi hanya sepuluh persen, sisanya untuk mengocok perut penonton. Semakin lucu penampilannya dianggap sukses. Jadi, bagi yang tidak memiliki kemampuan stand up comedy jangan harap bisa kebanjiran job.
Yach ... Zaman sudah berubah sangat jauh, fenomena yang tak bisa diprediksi sepuluh, dua puluh tahun lalu. Seiiring perkembangan berubah pula cara pandang terhadap penyampaian ajaran religi. Menjamurnya stasiun televisi dimanfaatkan oleh programmer dengan menyiapkan jam tayang keagamaan. Lebih dari enam puluh acara layar kaca menyajikan ceramah agama karena potensi iklannya menjanjikan. Konsep acaranya entertainmen sehingga penyajinya dituntut pintar menghibur pemirsa. Sebagaimana entertain tentu bertumpu pada hukum industri, orientasinya kudu profit. Jika tidak menguntungkan buat apa ditayangkan?
Mengamati adanya prospek yang menjanjikan tentu tidak disia-siakan dengan mengemas syiar agama sebagai intertainmen. Beragam rekayasa dilakukan programer menjadikan agama sebagai industri religi.
Kini event organizer, rental mobil, pengusaha jasa wisata, kreator digital, desainer pakaian, pabrik garmen, perajin aksesoris berlomba menangkap peluang untuk mewarnai perkembangan industri religi. Pundi-pundi kekayaan di pelupuk, betapa agama telah menjadi komoditi seksi. Industri religi membuktikan sebagai tambang cuan Hanya bermodal janji masuk surga.
Siapa mau?
Editor : Ali Topan