Reporter : Rokimdakas
JATIMKINI.COM, Dari 280 juta penduduk Indonesia, 80 persen menganut agama Islam. Yang menjadi pertanyaan, sejak kapan Islam bisa diterima oleh penduduk Nusantara yang sebelumnya menganut Kapitayan, agama asli Nusantara?. Untuk mengetaui kisahnya, sejarawan Dr Kyai Agus Sunyoto, setahun sebelum wafat sempat melayani penulis untuk dialog di rumahnya kawasan Mendit, Malang.
Menurut Agus, agama yang paling awal berkembang di Nusantara adalah Kapitayan. Sebuah kepercayaan yang memuja sesembahan utama yang disebut, “Sanghyang Taya” dimana orang Jawa mendefinisikan dalam satu kalimat, “tan kena kinaya ngapa” artinya, tidak bisa diperkirakan bentuk dan keberadaannya. Selama 683 tahun Islam tidak bisa diterima oleh kalangan pribumi yang mayoritas menganut Kapitayan.
Pembicaraan tentang agama asli Nusantara sampai sekarang masih menyisakan pandangan yang tak berkesudahan. Ada pemikir menafsir, jauh sebelum Islam masuk, di Nusantara terdapat agama kuna yang disebut Kapitayan – yang secara keliru dipandang sejarawan Belanda sebagai animisme dan dinamisme.
Ada juga yang berpendapat, sebelum ajaran agama samawi hadir di Nusantara leluhur kita sudah lama memiliki kesadaran spiritual yang tinggi. Mereka merasa bahwa keyakinan itu hanya untuk dipercaya dan ajarannya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, dan tidak patut diperdebatkan. Berikut dialog yang disajikan dalam format jawab dengan Agus Sunyoto, penulis buku Atlas Wali Sanga.
Tanya : Sebenarnya agama apa yang pertama kali berkembang di Nusantara?
Jawab: Agama yang paling awal berkembang di Nusantara adalah Kapitayan. Sebuah kepercayaan yang memuja sesembahan utama yang disebut, “Sanghyang Taya” dimana orang Jawa mendefinisikan dalam satu kalimat, “tan kena kinaya ngapa”, sesuatu yang tidak bisa dibayangkan seperti apa.
Agar bisa disembah kemudian Sanghyang Taya mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut “Tu” atau “To”, yang bermakna “daya gaib”, bersifat adikodrati.
Dalam bahasa Jawa kuna, Sunda kuna juga Melayu kuna, kata “taya” artinya kosong atau hampa namun bukan berarti tidak ada. Ini adalah istilah yang digunakan untuk mendefinisikan sesuatu yang tidak bisa didefinisikan, "tan kena kinaya ngapa", sesuatu yang tidak bisa dilihat, juga tidak bisa diangan-angan seperti apapun. Ia ada tetapi tidak kasat mata.
Tanya : Dasar pemahaman ajarannya bagaimana?
Jawab : Dalam sistem ajaran Kapitayan yang begitu sederhana waktu itu, Sanghyang Taya tidak bisa dikenali kecuali ketika muncul dalam bentuk kekuatan gaib yang disebut “Tu”. Tu adalah bahasa kuna yang artinya benang atau tali yang menjulur. “Tu” inilah yang dianggap sebagai kemungkinan pribadi Sanghyang Taya.
“Tu” kemudian diketahui mempunyai sifat utama yaitu sifat baik dan sifat tidak baik. Yang baik bersifat terang dan yang tidak baik begitu gelap, namun dalam satu kesatuan. “Tu” yang baik disebut Tuhan sedang “Tu” yang tidak baik disebut Hantu. Dua kosakata ini sampai sekarang kita warisi. Hanya Indonesia yang memiliki sebutan Tuhan bagi dzat yang maha agung.
“Tu” bisa didekati ketika dia muncul di dunia pada sesuatu yang terdapat kata-kata ‘tu’. Seperti wa-tu, tu-gu, tu-nggak, tu-nggul, tu-ban, dan sebagainya, yang menyiratkan adanya kekuatan ghaib dari “tu” yang bersemayam. Biasanya orang-orang memberikan sesajen. Ini jaman purba sekali.
Tanya : Dalam menyebarkan agama Islam apakah Wali Sanga mengadopsi Kapitayan?
Jawab : Memang demikian, Kapitayan diadopsi oleh Wali Sanga untuk menyebarkan Islam. Karena selama 683 tahun Islam tidak bisa diterima oleh kalangan pribumi yang mayoritas penganut Kapitayan.
Pasalnya, para saudagar muslim menceritakan bahwa Allah itu duduk di atas singgasana bernama Arsy. Lho, itu kan seperti manusia?. Orang-orang pribumi yang memahami Kapitayan tidak bisa menerima logika seperti itu. Bagaimana Tuhan duduk, itu kan sama seperti manusia?
Tanya : Bagaimana prinsip ajarannya?
Jawab : Dalam ajaran Kapitayan tidak mengenal dewa-dewa seperti Hindu dan Budha. Nah, pada jaman Wali Sanga, prinsip dasar Kapitayan dijadikan sarana untuk berdakwah dengan menjelaskan kepada masyarakat bahwa Sanghyang Taya adalah “laisa kamitslihî syai’un”, berdasarkan dalil al-Quran dan Hadist yang artinya sama dengan “tan kena kinaya ngapa”. Sesuatu yang tidak bisa dilihat, juga tidak bisa dibayangkan seperti apapun.
Wali Sanga juga menggunakan istilah ‘sembahiyang’ dan tidak memakai istilah shalat. Sembahiyang adalah menyembah ‘Yang’. Di mana? Di sanggar. Bentuk sanggar Kapitayan kemudian diubah menjadi seperti langgar-langgar di desa yang ada mihrabnya. Dilengkapi bedhug, ini pun adopsi Kapitayan.
Tentang ajaran ibadah tidak makan tidak minum dari pagi hingga sore tidak diistilahkan dengan ‘shaum’ karena masyarakat tidak mengerti tapi menggunakan istilah ‘upawasa’ kemudian menjadi puasa.
Orang-orang dahulu jika ingin masuk Islam cukup mengucapkan syahadat, setelah itu selamatan dengan menyuguhkan nasi tumpeng. Jadi, Kapitayan selalu menyeleksi atas semua yang masuk. Jangan harap bisa diterima oleh Kapitayan bila ada agama yang Tuhannya berwujud seperti manusia. Karena alam bawah sadar mayoritas masyarakat Nusantara akan menolak.
Hindu pun ketika masuk ke Nusantara juga diseleksi secara ketat. Ajaran Hindu yang paling banyak pengikutnya waktu itu adalah Waisnawa, pemuja Wisnu. Namun karena terdapat ajaran yang menyatakan bahwa Wisnu bisa muncul dalam sosok manusia akhirnya ajaran itu habis tergusur kemudian diganti ajaran Siwa yang berpandangan bahwa Tuhan tidak bisa mewujud sebagaimana manusia.
Demikian keberadaan agama timbul tenggelam oleh adanya perubahan pola pikir, rasionalisasi agama maupun dekadensi moralitas penganutnya.
Editor : Ali Topan