Dalam kehidupan bernegara, ideologi bukan sekadar simbol atau rangkaian kata yang tertulis dalam konstitusi. Ia adalah fondasi dan arah pijak sebuah bangsa.
Di Indonesia, Pancasila menjadi ideologi pemersatu yang dirumuskan bukan untuk menyingkirkan identitas kelompok tertentu, melainkan sebagai titik temu keberagaman.
Baca juga: Ketika Ego Politik Menggilas Kemanusiaan, Amerika Serang Iran
Namun, dalam perjalanannya, ada saja upaya dari kelompok-kelompok tertentu yang mencoba menggiring arah bangsa dengan membawa ideologi tandingan, baik secara halus maupun terbuka.
Salah satu bentuknya adalah penggunaan politik agama atau ideologi sebagai alat untuk menantang otoritas negara yang sah.
Politik agama, yang seharusnya menjadi kekuatan moral, kini sering kali dipelintir menjadi alat legitimasi kekuasaan. Agama ditarik masuk ke arena kontestasi politik praktis, dijadikan tameng untuk menyerang kebijakan negara dan lawan politik, bahkan kerap dimanipulasi menjadi senjata ideologis.
Padahal, dalam sejarahnya, para pendiri bangsa sepakat bahwa Pancasila bukan antitesis agama. Ia justru lahir dari semangat religius yang inklusif dan kosmopolit, yang mengakomodasi nilai-nilai spiritual berbagai golongan tanpa menjadikan satu agama sebagai poros dominan.
Namun, ketika ada kelompok yang ingin mengganti sistem bernegara dengan ideologi berbasis agama tunggal atau sistem transnasional seperti khilafah, maka negara tidak boleh abai.
Ini bukan sekadar ekspresi politik, melainkan ancaman terhadap fondasi konstitusional. Pemerintah, dalam konteks ini, harus hadir dengan ketegasan. Bukan dalam arti represif terhadap kritik atau perbedaan pendapat, melainkan protektif terhadap kestabilan dan kedaulatan ideologi negara.
Tapi di sinilah paradoks demokrasi muncul. Ketika negara mengambil langkah tegas, tuduhan pun datang, dan biasanya dianggap sebagai kriminalisasi, anti-Islam, anti-oposisi, anti-demokrasi.
Kritik terhadap kebijakan negara boleh dan harus ada, namun ketika kritik bertransformasi menjadi delegitimasi total terhadap ideologi negara, maka itu bukan lagi bagian dari demokrasi.
Dalam pandangan pakar politik dan tata negara asal Jerman, Carl Schmitt, “musuh politik sejati bukanlah pihak yang berbeda pendapat, tetapi mereka yang mempertanyakan eksistensi sistem itu sendiri.”
Artinya, negara tidak boleh lengah terhadap ancaman dari dalam yang menyamar sebagai bagian dari dinamika demokrasi, padahal sebenarnya berupaya menggulingkan pilar demokrasi itu sendiri.
Literasi politik yang rendah membuat masyarakat mudah terbawa narasi-narasi manipulatif. Mereka yang tidak memahami perbedaan antara kritik sah dan agitasi subversif menjadi sasaran empuk propaganda ideologis.
Media sosial menjadi medan pertempuran utama, di mana narasi dibangun bukan atas dasar kebenaran, melainkan pengaruh.
Dalam masyarakat yang minim pendidikan politik, politik agama sangat efektif dimainkan. Emosi kolektif jauh lebih mudah dibakar ketimbang nalar kritis.
Di sinilah negara dituntut tidak hanya bersikap tegas secara hukum, tapi juga hadir secara masif dalam pendidikan politik.
Sayangnya, pendidikan politik di Indonesia masih bersifat formalitas. Ia belum menyentuh ruang-ruang substantif yang bisa membangun kesadaran ideologis warga negara.
Di tengah kekosongan itu, kelompok-kelompok ekstrem ideologis mengisi ruang dengan narasi-narasi simplistis dan menghasut.
John Rawls, filsuf politik asal Amerika Serikat, pernah menyatakan bahwa demokrasi tidak akan bertahan tanpa “reasonableness”—kemampuan warga negara untuk menimbang secara rasional kebaikan bersama.
Baca juga: Perang, Antara Kemanusiaan dan Ego Elit Politik
Ketika politik agama meminggirkan akal sehat dan mendegradasi logika konstitusional, maka demokrasi sedang dipaksa untuk bunuh diri.
Penting pula menyoroti peran pemimpin dalam dinamika ini. Keteladanan pemimpin adalah bagian dari pendidikan politik yang hidup.
Ketika pemimpin bersikap ambigu terhadap ancaman ideologi ekstrem, bahkan kadang berkompromi demi kepentingan elektoral, maka pesan yang tersampaikan ke publik menjadi rancu.
Pemimpin yang menyuarakan Pancasila tetapi diam saat simbol-simbol intoleransi tumbuh di lingkar kekuasaan, adalah pemimpin yang membiarkan api kecil membakar pondasi bangsa secara perlahan.
Ketegasan ideologis seharusnya bukan hanya tertulis di naskah pidato, tetapi terwujud dalam kebijakan, penegakan hukum, dan pola komunikasi publik yang konsisten.
Dalam konteks global, banyak negara juga menghadapi dilema yang serupa. Prancis misalnya, bersikap tegas terhadap simbol-simbol politik berbasis agama di ruang publik.
Amerika Serikat menggunakan hukum internalnya untuk melindungi konstitusi dari ancaman sektarian. Artinya, sikap tegas bukanlah tanda anti-demokrasi, melainkan bukti komitmen terhadap demokrasi yang rasional dan konstitusional.
Negara yang membiarkan dirinya disandera oleh politik identitas akan kehilangan arah dan terjebak dalam konflik horizontal yang tiada akhir. Indonesia, sebagai negara dengan keragaman ekstrem, harus lebih waspada terhadap jebakan ini.
Kita tak bisa terus-menerus menganggap bahwa semua yang berbicara atas nama agama pasti benar dan tak bisa disentuh hukum.
Negara bukan lembaga teologi. Ia adalah institusi politik yang bertugas menjaga keteraturan dan keberlangsungan hidup bersama. Ketika agama dijadikan kendaraan untuk menggulingkan ideologi negara, maka itu bukan ekspresi keimanan, melainkan ekspresi kekuasaan yang berbahaya.
Baca juga: Pasca Iran Serang Israel Perdamaian Makin Rapuh
Maka, sikap tegas negara bukanlah bentuk perlawanan terhadap umat, melainkan perlindungan terhadap seluruh rakyat tanpa kecuali.
Menjaga Pancasila adalah menjaga rumah bersama. Jika rumah ini dirongrong oleh ideologi yang hanya berpihak pada satu warna saja, maka jutaan warna lain dalam pelangi kebangsaan akan hilang.
Demokrasi dan keberagaman hanya bisa hidup dalam ekosistem yang sehat ekosistem yang melindungi perbedaan, tapi juga tidak kompromi terhadap ideologi yang ingin memaksakan keseragaman.
Dalam kondisi seperti inilah, ketegasan negara dan kecerdasan politik masyarakat menjadi dua sisi mata uang yang saling menguatkan.
Dan seperti kata Schmitt, “yang membedakan negara sehat dan sakit bukanlah ada tidaknya perbedaan, melainkan seberapa kuat negara menjaga dirinya dari ancaman eksistensial.”
Indonesia harus menjadi negara yang kuat menjaga jati dirinya bukan negara yang ragu-ragu di hadapan ancaman ideologis yang dibungkus atas nama agama.
Ditulis : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi