Dalam sebuah masyarakat yang menjunjung tinggi ilmu pengetauan, teknologi dan logika modern, sungguh ironis bila manusia abad ke-21 masih harus menyandarkan arah hidupnya pada aturan yang dirumuskan oleh para tetua gurun ribuan tahun dahulu di tengah kekeringan, keterbatasan informasi, dimana dunia yang mereka pahami sebatas garis cakrawala tempat matahari terbit dan tenggelam. Sekarang sepertinya penting untuk meninjau ulang hukum-hukum lama dengan perspektif peradaban modern.
Bila Charles Darwin berhasil menghidupkan kembali akal sehat manusia lewat teori evolusi maka sudah semestinya kita juga berani menghidupkan ulang cara berpikir kita. Bukan sebagai bentuk penghinaan terhadap masa lalu melainkan penghormatan tertinggi terhadap proses peradaban yang terus berubah tak kenal jedah.
Baca juga: Memaknai Politik Agama atau Ideologi
Bayangkan jika tata kelola negara, sistem pendidikan atau pelayanan kesehatan hari ini masih bergantung pada rumusan hukum dari abad ketujuh. Maka betapa naifnya kita yang hidup dalam era luar angkasa tapi masih memakai teropong bambu untuk membaca langit?. Di bawah langit, tak ada yang abadi selain perubahan itu sendiri. Sebuah adagium kuno yang justru lebih futuristik ketimbang dogma yang terus dipertahankan tanpa refleksi.
Dalam soal ini, mari kita ambil satu kasus konkret: babi.Tuha
Ya, babi. Hewan yang telah menjadi musuh bebuyutan dalam kitab-kitab suci agama-agama monoteistik. Sebuah makhluk yang jangankan dianggap sebagai bagian dari rantai ekologi malah dijadikan simbol kenajisan, penghinaan, bahkan “dosa gastronomi” atau kuliner.
Apakah memang babi sejahat itu? Atau ini sekadar hasil dari tafsir masyarakat purba yang hidup dalam krisis sumber daya lalu mengubah strategi bertahan hidup menjadi doktrin ketuhanan?
Ada cerita menarik dari Presiden Rusia, Vladimir Putin. Saat seorang menterinya mengusulkan ekspor daging babi ke Indonesia, Putin tertawa dan berkata, “Indonesia itu menolak babi tapi minuman beralkohol, oke.”
Mengapa babi begitu ditakuti? Apakah sekadar soal agama, atau ada kisah yang lebih panjang di baliknya?
MENGGUGAT SEJARAH
Menggugat sejarah ketika babi dianggap musuh publik. Menurut penelitian antropolog dan sejarawan seperti Marvin Harris dan Mary Douglas, larangan terhadap babi di wilayah Timur Tengah lebih disebabkan oleh alasan ekologis ketimbang alasan spiritual.
Babi tidak bisa digembala, makanannya bersaing dengan manusia dan tidak cocok diternakkan di tanah kering dan gersang. Di saat yang sama, domba dan kambing adalah pahlawan ekosistem lantaran bisa digembala, menghasilkan susu dan tahan panas.
Menurut logika zaman itu, membasmi babi bukan hanya masuk akal tetapi perlu. Dan dari situ sebuah tafsir berkembang menjelma menjadi ajaran lalu dijadikan hukum Tuhan.
Kini kita bertanya, bila waktu bisa diputar ulang dan para nabi zaman itu hidup di wilayah subur seperti Cina atau Jawa, apakah babi akan tetap diharamkan? Atau justru disucikan?
BABI GUGAT
Secara satire, bolehlah kita berimajinasi, bila manusia bisa memahami bahasa babi sebagaimana Nabi Sulaiman memahami bahasa binatang, mungkin kita akan mendengar babi menggugat Tuhan:
Baca juga: Ketika Ego Politik Menggilas Kemanusiaan, Amerika Serang Iran
“Wahai Tuhan semesta alam, jika aku najis mengapa Kau ciptakan aku? Jika aku haram, mengapa Kau izinkan aku beranak-pinak? Apakah karena aku tidak bisa memamah biak maka aku dibuang dari daftar makhluk terhormat? Bukankah kehadiranku lebih dulu daripada manusia? Dimana letak keadilan-Mu Tuhan?”
Metafora ini bukan untuk mencemooh tetapi untuk menyorot kekacauan logika yang kadang diseret paksa menjadi hukum sakral. Padal sejarah membuktikan bahwa dalam banyak kebudayaan lain, termasuk Tiongkok kuno, Yunani, bahkan sebagian masyarakat Nusantara, babi justru disakralkan sebagai simbol kesuburan dan kesejahteraan.
Kita adalah hasil dari perjalanan panjang umat manusia. Dari makhluk pemburu-pengumpul makanan lalu menjadi petani, pendiri kota, pencipta teknologi, hingga perumus kecerdasan buatan. Maka, alangkah aneh bila pola pikir kita masih terjebak dalam semangat abad padang pasir, ketika segala keputusan ditentukan oleh cuaca dan jumlah air dalam tempayan.
Peradaban harus bersifat progresif. Moralitas pun harus dievaluasi, bukan dipatri abadi seperti prasasti. Di sinilah pentingnya ilmu pengetauan sebagai cahaya yang menuntun kita untuk tidak tersesat dalam belukar dogma.
Seperti kata Rod Preece dalam bukunya "The Pig: A Symbol of Spirit", stigma terhadap babi bukanlah fakta biologis melainkan narasi sosial. Sebuah narasi yang bertahan ribuan tahun karena tidak pernah dikritisi secara terbuka.
Agama dan ilmu bukanlsh musuh tapi harus berani dialog. Agama seharusnya menjadi taman spiritual yang menyuburkan moralitas, bukan pagar tinggi yang mengurung akal sehat. Bila manusia hari ini harus mengembangkan teknologi nano, menjelajah Mars, menyusun kode genetik, mengapa ia masih takut meninjau kembali hukum-hukum yang dirumuskan oleh masyarakat yang bahkan belum mengenal mikroskop?
Ini bukan ajakan memberontak, melainkan ajakan untuk bersikap dewasa. Iman bukan berarti anti-pertanyaan. Bertanya tidak sama dengan kufur. Justru dengan bertanya, manusia membuktikan bahwa ia hidup dan berpikir.
Baca juga: Perang, Antara Kemanusiaan dan Ego Elit Politik
TUGAS MANUSIA
Tugas manusia bukan sekadar menjalani hidup tetapi mewariskan kehidupan. Bukan kepatuhan membabi buta melainkan estafet kecerdasan. Generasi mendatang tidak bisa dibebani oleh logika kuno yang tidak sesuai konteks. Mereka butuh pijakan yang lentur, terbuka, berpijak pada realita zaman, bukan ilusi masa lalu.
"Jika Tuhan menciptakan akal, maka menggunakannya adalah ibadah tertinggi."
Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi