Cengkeraman Partai Politik Terhadap Rakyat

Reporter : Redaksi

Di suatu sudut ruang demokrasi, partai politik semestinya menjadi jembatan antara suara rakyat dan kebijakan negara.

Mereka lahir dari rahim sejarah perjuangan, ideologi, dan aspirasi yang mengkristal dalam harapan akan perubahan.

Baca juga: Memaknai Politik Agama atau Ideologi

Setiap partai membawa bendera nilai-nilai tertentu keadilan sosial, nasionalisme, liberalisme, religiusitas, atau harmoni ekonomi yang diyakini mampu menjawab persoalan-persoalan yang melilit masyarakat.

Namun, sebagaimana banyak hal dalam politik, antara idealisme dan realitas, ada jurang yang sering tak terjembatani.

Pada masa kampanye, partai-partai berlomba menawarkan visi terbaik, menjanjikan program pro-rakyat, dan menampilkan sosok pemimpin yang dekat dengan rakyat kecil.

Mereka mendatangi kampung, berdiri di atas panggung-panggung sederhana, dan berbicara dengan bahasa yang membumi.

Narasi tentang keberpihakan kepada masyarakat menjadi jualan utama. Tapi begitu pesta demokrasi usai, realitas politik sering berubah haluan.

Yang semula lantang menyuarakan aspirasi rakyat, tiba-tiba bisu saat berhadapan dengan lobi-lobi elite dan kepentingan kekuasaan.

Inilah wajah politik pasca pemilu yang jamak terjadi: partai politik lebih sibuk merundingkan jatah kursi menteri, mengkalkulasi pembagian proyek, atau menegosiasikan posisi strategis dalam pemerintahan.

Yang diperjuangkan bukan lagi agenda kepentingan rakyat, melainkan agenda internal: bagaimana eksistensi partai bisa terus terjaga, bagaimana kader bisa mendapat tempat, bagaimana sumber daya politik dan ekonomi bisa terus mengalir.

Sebuah praktik yang membuat banyak masyarakat kecewa dan apatis terhadap partai politik, bahkan terhadap demokrasi itu sendiri.

Francis Fukuyama, seorang ilmuwan politik kenamaan dari Amerika Serikat, pernah berkata bahwa salah satu tantangan besar dalam demokrasi modern adalah “the capture of democratic institutions by narrow interest groups.”

Dalam banyak kasus, partai politik yang seharusnya menjadi alat demokrasi justru dibajak oleh kepentingan sempit kelompok tertentu di dalamnya.

Kepentingan rakyat tergeser oleh kepentingan oligarki partai, dan inilah yang secara perlahan menggerus kepercayaan publik terhadap sistem politik secara keseluruhan.

Di Indonesia, fenomena ini terasa kental. Koalisi partai pasca pemilu seolah dibentuk bukan atas dasar kesamaan ideologi atau program kerja, melainkan pragmatisme politik belaka.

Partai yang sebelumnya saling kritik bisa tiba-tiba bersatu dalam pemerintahan, dan partai yang semula bersatu bisa pecah karena urusan pembagian kekuasaan.

Yang menyedihkan, tidak ada penjelasan yang cukup masuk akal kepada publik atas manuver-manuver ini.

Semua serba transaksional, serba elitis. Ironisnya, publik seringkali dijadikan pembenaran atas keputusan-keputusan elite partai.

Mereka berkata bahwa “ini demi kestabilan politik,” atau “rakyat ingin kita bersatu demi kemajuan bangsa.”

Namun ketika rakyat benar-benar  menginginkan perubahan, suara mereka kembali dibungkam dengan dalih birokrasi, prosedur, atau alasan teknokratis lainnya.

Rakyat, yang semestinya menjadi subjek utama dalam demokrasi, diposisikan kembali sebagai objek yang hanya boleh memilih lima tahun sekali.

Baca juga: Ketika Ego Politik Menggilas Kemanusiaan, Amerika Serang Iran 

Masalah ini menjadi lebih kompleks ketika kita melihat bahwa banyak partai tidak lagi berakar kuat pada basis ideologis.

Sebagian besar partai di Indonesia bersifat cair, mudah berubah haluan, dan lebih berorientasi pada kekuasaan ketimbang prinsip. Ideologi hanya dijadikan atribut simbolik, bukan pijakan kebijakan.

Bahkan dalam banyak kesempatan, pernyataan politik elite partai lebih mirip strategi pemasaran daripada representasi nilai-nilai yang konsisten.

Mengapa ini bisa terjadi? Salah satu jawabannya adalah karena partai politik tidak dibangun dengan sistem kaderisasi dan internalisasi nilai yang kuat.

Banyak partai hanya menjadi kendaraan elektoral bagi segelintir tokoh. Mereka lahir menjelang pemilu dan hilang setelahnya.

Struktur partai tidak berkembang menjadi institusi demokratis yang sehat, melainkan lebih menyerupai korporasi politik yang dikelola seperti perusahaan keluarga.

Loyalitas lebih penting dari kompetensi, dan kedekatan dengan elite lebih menentukan ketimbang kualitas gagasan.

Dalam konteks ini, partai politik bukan sekadar gagal memperjuangkan aspirasi rakyat, tetapi juga gagal menjadi institusi pendidikan politik.

Mereka tidak mengajak masyarakat untuk memahami proses pengambilan keputusan publik, tidak melibatkan rakyat dalam perumusan kebijakan, bahkan tidak memberi ruang bagi munculnya kader-kader muda yang kritis dan progresif.

Akibatnya, partai menjadi asing di tengah masyarakat yang mestinya mereka wakili. Apakah ini berarti kita harus menyerah pada keadaan? Tidak.

Baca juga: Perang, Antara Kemanusiaan dan Ego Elit Politik

Demokrasi adalah proses yang selalu bisa diperbaiki. Tapi perbaikan itu mensyaratkan keberanian untuk menuntut lebih dari partai politik.

Masyarakat harus berani bertanya: untuk siapa sesungguhnya partai-partai itu bekerja? Harus ada tekanan publik yang konsisten agar partai kembali kepada khitahnya: menjadi pengemban aspirasi rakyat, bukan sekadar alat kekuasaan.

Sebagaimana diingatkan Fukuyama, institusi politik hanya bisa sehat jika ada mekanisme akuntabilitas yang kuat.

Di sinilah peran masyarakat sipil, media independen, dan kelompok intelektual sangat penting.

Mereka harus menjadi penjaga nurani publik, memastikan bahwa janji politik tidak berhenti di baliho dan panggung kampanye, tetapi sungguh diwujudkan dalam kebijakan nyata.

Maka, harapan bagi partai politik tetap ada. Tapi harapan itu hanya bisa tumbuh jika partai bersedia kembali menengok ke akar: untuk apa mereka dibentuk, siapa yang mereka wakili, dan nilai apa yang ingin mereka perjuangkan.

Jika tidak, mereka akan terus berjalan menjauh dari rakyat dan pada akhirnya, kehilangan makna keberadaannya sendiri.

                  
Ditulis oleh : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.

Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

Editor : Redaksi

Ekonomi
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru