“Bayar, bayar, bayar... Kepingin anu bayar polisi !” petikan lirik grup punk Sukatani itu tak hanya satire tetapi cermin buram kenyataan. Khususnya bagi keluarga korban narkotika yang tiba-tiba harus berhadapan dengan aparat penegak hukum. Saat anak atau saudara terciduk polisi karena kasus narkoba, rumah serasa tertimpa gempa. Panik, gelisah, gelap. Bukan hanya karena stigma tapi karena tarif yang harus dibayar demi pembebasan.
Ironisnya, banyak masyarakat tidak tau bahwa penyalahguna narkotika tidak seharusnya dihukum. Inilah bagian dari perubahan paradigma hukum yang mengedepankan Restorative Justice (RJ). Tapi mengapa publik tetap ketakutan dan membayar mahal? Karena informasi ini sengaja dibungkam, ditutup rapat-rapat karena mengandung cuan.
Baca juga: Memaknai Politik Agama atau Ideologi
UU di Sembunyikan
Pemerintah sejatinya telah mengatur bahwa pecandu narkotika adalah korban yang butuh rehabilitasi, bukan hukuman. Hal ini ditegaskan dalam peraturan bersama antara Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kemenkumham, Kementerian Sosial, Kemenkes, Kapolri, dan Kepala BNN. Bahkan Peraturan Polri No. 8 Tahun 2021 secara jelas menjabarkan mekanisme Restorative Justice dalam menangani kasus pengguna dan penyalahguna narkoba.
Kepala BNN RI, Komjen Pol Marthinus Hukom menyebut pecandu narkotika sebagai korban yang menderita dan membutuhkan intervensi medis serta sosial. Bahkan Jaksa Agung, Sanitiar Burhanuddin menyatakan secara tegas, “Haram bagi jaksa untuk melimpahkan pengguna ke pengadilan.” Bisa diartikan bahwa korban narkotika haram dimasukkan penjara sebagai bentuk hukuman.
Tapi fakta di lapangan berkata lain. Polisi lebih sering memilih menakut-nakuti keluarga dengan ancaman penjara, mendorong mereka untuk “berdamai” dengan bayaran puluhan hingga ratusan juta rupiah. Istilah “86” menjadi kode gelap perdamaian ilegal. Jika korban bersedia membayar maka kasus tidak dilanjutkan. Tapi ke mana larinya uang itu?
Polisi dan jaringan oknum aparat menjadikan kasus narkotika sebagai ladang emas. Penyiaran tentang restoratif justice sengaja diredam agar keluarga korban tak tau haknya. Skema ini terjadi berulang kali: tangkap , ancam , damai , dapat uang.
Korban narkotika pun akhirnya dijebak dua kali, pertama oleh zat haram, kedua oleh aparat yang seharusnya melindungi. Mereka dikurung di penjara yang penuh sesak, bukan dipulihkan. Data menunjukkan, sebagian besar lembaga pemasyarakatan di Indonesia mengalami over kapasitas. Mayoritas penghuninya adalah pengguna narkoba. Alih-alih pulih, para pengguna justru bertemu dengan bandar dan pengedar. Kondisi psikologinya semakin parah.
Tak heran jika banyak keluarga lebih memilih “membayar” demi menghindari tekanan meski harus menjual harta benda. Dalam budaya hukum kita, hidup “aman” seringkali dimaknai sebagai hidup yang tidak bersinggungan dengan polisi, pengadilan dan rumah sakit. Dengan begitu hidup menjadi serangkaian usaha menghindari malapetaka hukum.
Fenomena ini melahirkan semacam ketakutan sistemik di masyarakat. Sementara pihak-pihak yang seharusnya menyuarakan keadilan malah menutup informasi dan membajak hukum demi kepentingan pribadi.
Baca juga: Ketika Ego Politik Menggilas Kemanusiaan, Amerika Serang Iran
Publik Harus Tau
Menurut Prof. Dr. Siswanto, pemerhati korban narkotika, “Sosialisasi tentang perubahan undang-undang narkotika dan pendekatan RJ harus dilakukan secara intensif.” Ia menegaskan, masyarakat belum tau bahwa perdamaian, dalam konteks hukum sebenarnya sah dilakukan. Namun bukan lewat suap melainkan lewat prosedur resmi dengan pengajuan rehabilitasi.
Restoratif justice hanya berlaku jika pelaku adalah pecandu atau penyalahguna, bukan pengedar. Barang bukti terbatas, misalnya ganja tidak sampai 5 gram, sabu di bawah 1 gram. Ada permohonan rehabilitasi dari keluarga
Inilah yang harus diketaui masyarakat. Bukan untuk membebaskan pelaku dari tanggung jawab tapi untuk mengembalikan korban ke jalan pemulihan, bukan penjara.
Saat hukum dijadikan ladang "cuan" oleh oknum aparat maka yang rusak bukan hanya sistem tetapi juga harapan. Restoratif justice adalah peluang untuk memulihkan, bukan memenjarakan. Tapi jika informasi ini terus disembunyikan maka korban akan tetap jadi komoditas. Dan keadilan akan terus menjadi barang mewah yang hanya bisa dibeli.
Baca juga: Perang, Antara Kemanusiaan dan Ego Elit Politik
Sudah saatnya masyarakat melek hukum, agar tau bahwa hukum bisa jadi alat pemulihan, bukan alat pemerasan.
Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi