Di tengah peliknya perjuangan bangsa untuk bangkit dan mandiri, ada kelompok kecil yang tampaknya lebih menikmati peran sebagai perusuh pikiran. Mereka bukan pembawa solusi melainkan pembuat gaduh tak bermutu. Disinformasi, fitnah dan kebencian mereka racik sebagai komoditas yang dijual dalam kemasan “kritik”.
Gaya mereka memang canggih, tampil seperti intelektual tapi isi pikirannya justru merusak. Laksana kecoak berjas, mereka merayap di sela ruang publik lalu menyebar post-truth dan membingungkan warga yang haus akan kepastian.
Baca juga: Memaknai Politik Agama atau Ideologi
Masyarakat sudah sadar bahwa gerakan mereka bukan gerakan murni. Di belakang narasi keras itu berdiri sosok-sosok asing yang kepentingan bisnis globalnya sedang terusik oleh kebijakan nasionalisme ekonomi Indonesia, seperti hilirisasi sumber daya alam yang digagas Jokowi dan diteruskan oleh Prabowo.
Maka lahirlah gerakan “oposan palsu”, yang lebih sibuk membuat gaduh dibanding memberi solusi. Mereka pintar tapi tak bijak. Mereka vokal tapi tak jujur.
Alat Proxy
Publik tau, banyak dari petualang politik itu memiliki hubungan internasional yang cukup akrab. Dana gerakan mereka pun tak jarang berasal dari luar negeri, lewat lembaga donor yang konon bertujuan mulia. Tapi yang jadi pertanyaan, kalau memang peduli Indonesia mengapa harus bergantung pada bandar luar negeri?
Ironisnya, ketika pemerintah berjuang menyehatkan bangsa dari ketergantungan ekonomi dan politik luar, mereka justru sibuk mencari “Bandar Asing”, tempat mengemis dana dengan dalih “demokrasi”. Padahal yang terjadi justru perusakan tatanan bangsa sendiri.
Inilah wajah baru kolonialisme, tidak dengan meriam dan tentara tapi dengan influencer, buzzer, aktivis saweran juga 'gerombolan oplosan'.
Pelajaran dari negara lain seharusnya membuka mata. Suriah, Libya, Ukraina, semua diawali dari narasi reformasi dan perlawanan. Tapi hari ini apa yang tersisa? Kota-kota hancur, ekonomi rontok dan rakyat menjadi korban eksperimen geopolitik.
Apakah kita ingin Indonesia menjadi panggung selanjutnya?
Sakit Sosial
Di tengah banjir informasi digital, literasi menjadi senjata paling penting. Namun literasi hari ini bukan hanya kemampuan membaca teks melainkan menyaring informasi. Sayangnya, sebagian masyarakat masih mudah terbawa arus hoaks yang dikemas dengan estetika tinggi. Itulah mengapa narasi-narasi provokatif begitu laris di media sosial.
Penyakit pragmatisme sosial pun menyebar. “Yang penting aku aman” menjadi prinsip hidup. Empati menipis, nalar dikebiri. Dan dari masyarakat inilah lahir birokrat oportunis, parlemen berisik tapi tak substansial serta elite yang hobi menjilat kekuasaan. Malah ada yang menjadi kaki tangan kekuatan luar.
Baca juga: Ketika Ego Politik Menggilas Kemanusiaan, Amerika Serang Iran
Ada yang sinis bertanya, “Kalau masyarakat sakit, bukankah pemerintah seharusnya menyembuhkan? Tapi kalau dokternya juga sakit, siapa yang akan menyembuhkan semua?”
Ada sebuah jawaban yang jujur, pemerintah adalah produk masyarakatnya sendiri.
Kita bisa mulai dari lingkup terkecil yakni lingkungan RT. Lihat bagaimana budaya permisif, rendahnya solidaritas dan sikap masa bodoh menjalar di kehidupan sehari-hari. Mereka yang membawa penyakit ini pun masuk ke parlemen, lembaga negara juga posisi strategis, bukan untuk menyembuhkan tapi malah memperparah.
Kesadaran Bersama
Memimpin negara sebesar Indonesia dengan 280 juta penduduk dan ribuan pulau bukan perkara ringan. Usia kemerdekaan boleh menua tetapi kedewasaan berbangsa belum tentu menyusul. Dibutuhkan kesabaran sejarah, bukan kegaduhan musiman. Dibutuhkan kerja bersama bukan retorika racun.
Beberapa presiden telah mewariskan fondasi penting, diantaranya Soekarno dengan semangat kedaulatan, Soeharto dengan stabilitasnya (meski problematik) dan Jokowi dengan kebijakan hilirisasinya. Kini Prabowo mewarisi beban berat, menjaga arah bangsa di tengah geopolitik yang tak menentu.
Belum setahun memimpin sudah muncul serangan-serangan destruktif yang mengaku sebagai kritik. Padahal yang mereka lakukan hanyalah memancing kekacauan. Maka sangat wajar jika publik menuntut ketegasan negara agar aparat tak ragu menindak orang-orang pintar tapi bodoh itu.
Baca juga: Perang, Antara Kemanusiaan dan Ego Elit Politik
Di negara manapun pembangunan butuh stabilitas. Bukan debat tanpa ujung. Bukan narasi sesat. Dan bukan “pahlawan” yang hobi menjual bangsanya sendiri kepada donatur luar negeri.
Indonesia bukan panggung sinetron politik. Ini negeri yang dibangun dengan darah, nyawa dan air mata bukan dari like and share. Maka jika ada yang mencoba merusaknya dari dalam, hanya karena merasa tak dapat jatah kekuasaan, rakyat berhak menyebutnya intelektual pengkhianat.
Karena mengemis pada donatur asing lalu merusak negara sendiri itu bukanlah perjuangan. Itu adalah penghancuran. Sebagai warga bangsa, kita tak boleh diam menyaksikan aksi kaum bedebah!.
Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi