Manipulasi Publisitas. Jalan Pintas Popularitas

Reporter : Redaksi
Ilustrasi : Lukisan karya Guf Tawakal

Di dunia seni yang gemerlap, ada fenomena unik yang kerap muncul. Apa itu? Kejahatan publisitas. Fenomena ini adalah trik cerdas sebagian seniman untuk mendongkrak popularitas, kadang  dengan cara kontroversial. Sebuah pameran lukisan di Jakarta, misalnya, dibatalkan karena dianggap provokatif. Tentu saja pembatalan ini bukanlah akhir dari cerita. Sebaliknya malah menjadi bahan bakar publikasi yang lebih besar. Betapa lihai seniman ini dalam menyulut perdebatan bahkan melibatkan kaum intelektual yang sering kali terperangkap dalam skenario gelap  hingga intelektualitas mereka  dipertanyakan.

Mari kita telaah modus operandi ini. Seniman merancang karya dengan nuansa provokatif, tendensius, penuh bom retorika. Karya-karya ini, alih-alih menjadi sekadar seni justru  berubah menjadi alat untuk menciptakan kehebohan. Para intelektual, yang semestinya menjadi penjaga moral dan estetika malah menjadi korban manipulasi ini. Bukannya mengkritisi secara tajam, mereka justru terseret arus, membenarkan karya atas nama kebebasan berekspresi. Ironisnya, mereka lupa bahwa ada batas adab dan nilai kemanusiaan yang harus dijaga.

Baca juga: Memaknai Politik Agama atau Ideologi

Seniman dengan lihai menggiring opini publik untuk mendukung narasinya  meskipun melanggar norma atau etika. Publik pun membaca ini dengan skeptisisme. Mereka tau bahwa karya seni seprovokatif apa pun tidak lahir dari ruang hampa. Ada banyak sumber yang dikutip, seperti media framing, cerita orang lain, hingga skenario yang direkayasa. Semua itu kemudian diramu menjadi "konsep karya." Tetapi apakah kebebasan berekspresi itu benar-benar bebas ketika digunakan untuk provokasi destruktif, menghasut perusakan?

Kaum intelektual yang terseret dalam diskursus ini sering kali lupa bahwa tugas mereka bukanlah mendukung karya provokatif semata akan tetapi memberikan perspektif yang lebih luas. Sebuah karya seni tidak hanya dinilai dari keindahannya tetapi juga menimbang dampaknya terhadap moral dan sosial. Ketika intelektual terjebak dalam perang opini dangkal, mereka kehilangan peran sebagai pemandu perdebatan yang substantif.

Yang paling menyedihkan adalah ketika kaum intelektual mendukung karya provokatif, mereka mempertaruhkan kredibilitas di mata masyarakat. Publik yang kecewa melihat intelektual mendukung kebebasan tanpa batas akan berubah skeptis terhadap kontribusi mereka di masa depan. Sebagai "kaum pintar," bukankah sudah seharusnya mereka menjaga marwah keilmuan?

Kebebasan berekspresi memang penting tetapi ada yang lebih penting di atas itu, yaitu nilai kemanusiaan. Tanpa nilai ini, kebebasan hanya menjadi kedok  provokasi. Dan setinggi apapun intelektualitas mereka hanya menjadi pion dalam permainan manipulasi. Apa gunanya intelektualitas tanpa moralitas?

Baca juga: Ketika Ego Politik Menggilas Kemanusiaan, Amerika Serang Iran 

Saat ini kita perlu menelan pil pahit. Ternyata sepintar apapun kaum intelektual banyak yang lupa bahwa, di atas kebebasan adalah kemanusiaan.

Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.

Baca juga: Perang, Antara Kemanusiaan dan Ego Elit Politik

Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

 

Editor : Redaksi

Ekonomi
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru