Perang, Antara Kemanusiaan dan Ego Elit Politik

Reporter : Redaksi
Ilustrasi Bambang Eko Mei for Jatimkini.com

Dalam sejarah panjang umat manusia, perang selalu menjadi gambaran paling kelam tentang kegagalan peradaban dalam menjaga kemanusiaan.  Di tengah kemajuan teknologi, diplomasi global, dan kesadaran akan pentingnya hak asasi manusia, konflik bersenjata justru tetap menjadi pilihan utama bagi para penguasa yang memegang kendali atas kekuatan militer dan politik.
 
Seolah tak pernah belajar dari luka masa lalu, dunia kini kembali terperosok dalam ketegangan baru seperti yang terlihat pada konflik Iran dan Israel.  Di medan tempur yang mereka pilih, bukan hanya bangunan yang runtuh, tapi juga nilai-nilai kemanusiaan yang hancur bersama jerit pilu korban yang tak bersalah.
 
Malala Yousafzai, seorang pejuang penerima Nobel Perdamaian 2014 asal Pakistan yang menjadi simbol harapan dunia, pernah berkata bahwa dalam peperangan, baik pemenang maupun pecundang sama-sama kalah karena mereka kehilangan kemanusiaan.
 
Kutipan ini bukan sekadar untaian kata penuh empati, tapi cermin tajam yang menelanjangi realitas pahit di balik setiap konflik bersenjata. Perang bukan hanya soal siapa menguasai wilayah atau siapa yang unggul dalam strategi militer, melainkan tentang siapa yang rela menanggalkan nurani demi harga diri politik.
 
Ketika ego para elit mendominasi panggung pengambilan keputusan, suara rakyat, terutama mereka yang paling rentan, tenggelam dalam debu ledakan dan dentuman rudal. Konflik antara Iran dan Israel menjadi contoh nyata bagaimana diplomasi gagal bersaing dengan ego politik yang membara.
 
Ketegangan ini bukan semata pertikaian dua negara, melainkan sebuah simbol dari kehancuran sistem internasional yang semakin sulit menemukan ruang damai di tengah retorika konfrontatif.
 
Padahal dunia pernah menyaksikan harapan besar saat Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) atau kesepakatan nuklir Iran lahir.  Perjanjian itu sempat menjadi titik terang dalam upaya menghindari benturan senjata. Namun semuanya berubah ketika Amerika Serikat secara sepihak keluar dari kesepakatan tersebut.
 
Sejak saat itu, jalur diplomatik seakan dibekukan, sementara Iran kembali meningkatkan pengayaan uranium sebagai bentuk perlawanan terhadap tekanan internasional. Sejak itulah, politik saling tuding berubah menjadi aksi saling serang. Setiap provokasi dijawab dengan balasan yang lebih keras, membentuk siklus kekerasan yang tak berujung.
 
Yang paling menyedihkan, korban utama dari konflik ini bukan para politisi yang duduk di ruang aman dengan pendingin udara dan tim penasihat, melainkan rakyat biasa yang tak pernah memilih untuk terlibat dalam perang.
 
Anak-anak, perempuan, dan warga sipil yang tak bersenjata menjadi statistik kematian yang terus bertambah, seolah mereka hanya angka yang bisa dinegosiasikan di meja perundingan yang tak pernah benar-benar digelar.
 
Di sinilah letak persoalan utama dunia saat ini. Kemanusiaan tak lagi menjadi dasar dalam pengambilan keputusan global. Sebaliknya, yang lebih dominan adalah ego sektoral, ideologi ekstrem, dan ambisi untuk mempertahankan kekuasaan.
 
Bahkan organisasi internasional seperti PBB pun kerap terlihat tak berdaya dalam menengahi konflik yang dipicu oleh negara-negara besar dengan kepentingan masing-masing.
 
Multilateralisme, yang dulu menjadi pilar utama dalam menciptakan perdamaian pasca Perang Dunia II, kini hanya terdengar sebagai jargon kosong di tengah kebisingan senjata. Padahal, jika kita kembali kepada prinsip dasar kemanusiaan, perdamaian seharusnya menjadi tujuan utama setiap bangsa.
 
Dunia yang dibangun dari rasa saling percaya, saling menghormati, dan saling mengakui perbedaan budaya serta keyakinan seharusnya bisa menjadi benteng terakhir dari godaan untuk memilih jalan kekerasan. Namun sayangnya, dunia yang diimpikan itu kini retak oleh serangan udara dan retorika politik yang memperkeruh suasana.
 
Tidak ada solusi militer yang mampu menyelesaikan akar masalah politik. Sejarah telah membuktikan bahwa setiap perang hanya meninggalkan puing dan dendam. Diplomasi preventif semestinya menjadi strategi utama, bukan opsi terakhir setelah kekacauan terjadi.
 
Dunia membutuhkan lebih banyak ruang untuk negosiasi, lebih banyak keberanian untuk mendengar, dan lebih banyak empati dalam mengambil keputusan.  Sayangnya, dalam konteks Iran dan Israel, ruang-ruang seperti itu semakin sempit karena masing-masing pihak memilih mempertahankan prinsip yang kaku, bahkan ketika nyawa manusia dipertaruhkan.
 
Elit politik seringkali terjebak dalam ilusi bahwa menjaga gengsi dan harga diri negara adalah segalanya. Mereka melupakan bahwa negara adalah kumpulan manusia, dan kemanusiaanlah yang seharusnya dijaga terlebih dahulu.
 
Ketika sebuah keputusan politik justru menyebabkan ribuan rakyat tak berdosa kehilangan rumah, keluarga, dan masa depan, maka jelaslah bahwa keputusan itu bukanlah kemenangan, melainkan kegagalan peradaban.
 
Ego yang tak mau berubah adalah penyebab utama penderitaan kolektif yang tak perlu terjadi.Dunia tidak kekurangan suara-suara perdamaian, tetapi kekurangan keberanian untuk mendengarkannya. Kata-kata Malala Yousafzai adalah panggilan nurani bagi siapa pun yang masih memegang harapan akan dunia yang lebih adil dan damai.
 
Perang tidak pernah menjanjikan apapun selain luka. Maka kini saatnya bagi semua pihak, tanpa kecuali, untuk menundukkan ego dan mengedepankan dialog. Sebab hanya dengan jalan damai, dunia bisa diselamatkan dari kehancuran yang terus mengintai di setiap penjuru.

Ditulis oleh : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial

Baca juga: Sekolah Rakyat. Mendidik Anak Melarat Jadi Generasi Bermartabat


Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas
Redaksi  Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
 

Baca juga: Ketika Ego Politik Menggilas Kemanusiaan, Amerika Serang Iran 

Editor : Redaksi

Ekonomi
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru