x
x

Gayeng di Kayutangan

Kamis, 11 Mei 2023 00:01 WIB

JatimKini

Bukan berlebihan bila orang mengatakan bahwa Kayutangan merupakan kampung halaman. Di kampung yang menjadi pusatnya heritage itu tempat nostalgia ketika kerinduan dan kenangan masa silam bertemu.

Di kampung itu pula setiap orang bisa melepas rindu setelah lama tak berjumpa. Seperti dejavu, muncul perasaan yang sedang dialami kini pernah terjadi serupa peristiwa masa silam. Bahkan, saat melintas di Kayutangan terasa getaran magnet untuk singgah. Bukan sekadar mampir, tetapi berwisata. Setelahnya, rasa ingin kembali terus melekat dalam ingatan.

Energi penarik itu selain heritage yang eksotis juga keramahtamahan masyarakatnya. Hal itu membuat siapa pun merasa betah, nyaman dan terayomi.

Pagi itu di sudut gang IV Jalan Jenderal Basuki Rahmat, Kota Malang, Sri Mulyati akrab disapa Mak Sri membagikan kenangan. Warga yang masa kecilnya di Kayutangan itu memulai bercerita riwayat yang mengesankan.

"Mau arek Jakarta mari tak ceritani Kayutangan zaman biyen," tegas Mak Sri membuka pembicaraan dengan aksen Malangan, Sabtu (15/4).

Mak Sri yang berjualan aneka oleh-oleh bertutur menggunakan dialek emak-emak yang khas. Menurut dia, ketika kemajuan pembangunan di Kayutangan belum seperti sekarang, jalan di kawasan itu cukup lebar. Lalu, pernah terjadi perubahan sampai akhirnya dikembalikan lagi seperti semula. Warganya pun hidup tertib.

"Biyen sakdurunge koyok ngene, dalane ombo. Dalan iku pernah dirobah, dicilikno, saiki gede maneh. Biyen Rame banget. Wonge nurut-nurut pas ndelok arak-arakan."

Saban Lebaran tiba, warga merayakan sesuai tradisi sampai sekarang. Tradisi itu pun menjadi daya pikat pariwisata.

"Nek riyayan, biasane halalbihalal, sungkeman. Biyen nganti saiki yo ngono, sungkeman."

Adapun suguhan berupa jajanan pasar yang digemari anak-anak. Mak Sri mengaku rutin membuat madumangsa setiap Lebaran.

"Panganan khas Kayutangan biyen iku onok tape oven. Jajanan lawas yo madumongso. Iku wajib onok pas Lebaran. Biasane aku gawe madumongso limang kilo di pangan dewe sak keluarga."

Jajanan lainnya "Getok, cenil, sawut, sundukan jagung warna warni, jemblem. Nek saiki yo roti riyoyo."

Cerita riwayat dengan dialek Jawa Timur membuat suasana kian akrab, berasa bertemu ibu dan nenek. Bagi Mak Sri, kenangan masa silam itu diceritakan kembali kepada wisatawan yang ia anggap seperti anak dan cucunya.

"Iki oleh-oleh carang mas, ting ting, suwir suwir. Regone murah meriah.

Mak Sri mengatakan Kayutangan memiliki pasar krempyeng di tengah kampung. Pasar itu selalu ramai pembeli.

"Biyen yo rame. Ono pasar di tengah kota. Yo ono makam Mbah Honggo dan Makam Tandak. Ceritane warga kene, tandak iku wong lanang. Makam iku onok tahun piro gak eroh aku. Jare Bapakku, tandak kerajaan zaman biyen."

Di makam itu pula sejumlah orang biasa berziarah dengan berbagai tujuan. Mak Sri saat menikah tahun 1977, juga menjaga tradisi ziarah di makam leluhur Kayutangan tersebut. Teladan itu awet sampai sekarang. Maknanya, mengingat para leluhur yang meneroka Kayutangan.

"Aku nyekar rono dikongkon ibukku. Jarene ben diewang-ewangi, cek slamet."

Mak Sri lancar bercerita karena masa kecilnya bermain di sekitar makam Mbah Honggo. Saat itu sekitar tahun 1968.

"Cilikanku dolen petakilan menek wit ringin. Biyen juru kunci jenenge Mbah Santi. Lek Jumat Legi, maesan dikupluki kain putih. Nek onok tamu, aku ngomong, mbah-mbah ono tamu. Tamune ngomong, kulo bade nyekar. Nek nyekar, wudlu disek. Onok badukan, banyune teko kali mati. Biyen durung onok sumur, dorong ono ledeng."

Setelah juru kunci makam meninggal, sudah tidak ada penerusnya. Namun, areal makam Mbah Honggo tetap lestari menjadi bagian dari heritage sebagai daya tarik pariwisata.

Ngobrol bersama Mak Sri sungguh sangat menentramkan. Sembari menyeruput wedang kopi buatan Ibu Astufa, berwisata di Kayutangan seperti berada di rumah sendiri. Suasana pun kian gayeng. Kedua kios milik Mak Sri dan Astufa dempet dengan bangunan lawas bekas pabrik es. Di bangunan itu, berada tepat di pintu masuk gang IV tertulis V. Doorene. Bangunan itu ikonik. Karena itu digunakan untuk foto kartu pos sebagai tanda masuk berwisata di Kayutangan.

Perbaikan ekonomi

Ibu Astufa, 58, merupakan istri dari Pak Purwanto. Ia menempati rumah di Kayutangan No 928. Menetap mulai 1985, memiliki empat anak dan lima cucu. Ia berjualan wedang kopi dan gorengan.

Menurut Astufa, setelah pembangunan Kayutangan, kebanyakan warga mulai ada perubahan secara ekonomi.

"Pokoknya enak, sudah ada tambahan ekonomi. Tapi kalau kaya, belum. Penghasilan Rp200 ribu per hari. Ini mending daripada dulu. Namanya orang jualan, kadang ramai dan sepi itu biasa."

Biasanya, wisatawan yang berkunjung minta homestay untuk singgah beberapa hari. Selain itu, mereka menanyakan pusat oleh-oleh dan kuliner yang lengkap. Meskipun di tempat itu sudah ada pecel dan dawet, tapi belum memuaskan wisatawan mancanegara.

"Di sini kan wisata heritage, rumah bersejarah. Biasanya wisatawan mancanegara bertanya, rumah itu dulu untuk apa dan siapa yang menempati."

Kini, Kayutangan heritage tak pernah sepi pengunjung. Malam takbiran Idulfitri sekalipun tetap ramai. Pengunjung memadati jalanan hingga masuk kampung. Alhasil, pelaku UMKM pun ketiban rezeki.

Totok, 55, pelaku usaha kopi tubruk menyatakan Kayutangan kini lebih hidup sekaligus menghidupi warga. Manfaat pembangunan semakin luas menumbuhkan perekonomian. Ia menyewa tempat untuk usaha warkop Rp90 juta per tahun. Di tempat itu, ia berbagi tempat dengan 9 pelaku usaha lainnya yang berjualan soto, kudapan dan nasi sambal. Biaya sewa keroyokan masing-masing Rp10 juta.

"Saya usaha sudah 2 tahun ini. Bersyukur sudah balik modal dengan pendapatan minimal Rp1 juta," katanya.

Menurut Ketua RW IV Kayutangan Yunar Mulya, setidaknya 30 ribu pengunjung saban hari menyambangi kampung eksotis tersebut. Mereka menikmati kuliner khas buatan warga sembari nongkrong di kafe.

Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata (Disporapar) KotaMalang Baihaqi mengungkapkan, kemajuan Kayutangan sudah mendongkrak perekonomian warga. Usaha baru bermunculan karena destinasi itu banyak dikunjungi wisatawan. Namun, ia mengaku belum menghitung detail omzet dari setiap usaha baru imbas pembangunan kawasan setempat.

"Yang pasti, salah satu contoh saja, kedai Kopi Lonceng beromzet Rp6 juta sampai Rp7 juta per hari. Pada akhir pekan Rp10 juta," ungkapnya. (R2)

Editor : Redaksi

LAINNYA